Langkah terbaru yang diambil Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam mengatur ulang arah kebijakan ekonominya kembali memantik badai reaksi keras. Serangkaian regulasi yang dirancangnya, termasuk tarif perdagangan dan deportasi besar-besaran, justru dianggap membakar sekam ketegangan sosial dan memicu gelombang demonstrasi yang menyebar luas dari satu benua ke benua lainnya.
Bermula dari ketetapan tarif impor yang diberlakukan Trump, banyak pihak menilai langkah ini tak hanya mengguncang ekosistem ekonomi domestik, tetapi juga menyeret stabilitas perdagangan internasional ke pusaran ketidakpastian. Sejumlah negara mitra dagang pun menyuarakan keresahannya, khawatir dampaknya bisa menular seperti domino dalam ekonomi global.
Tak berhenti di situ, kebijakan pengusiran massal warga migran juga mencuatkan amarah. Di mata banyak kalangan, langkah ini tidak hanya dianggap menindas kelompok rentan, tapi juga menumbuhkan kembali aroma diskriminasi rasial yang seharusnya telah terkubur dalam sejarah.
Respons masyarakat pun menyeruak. Aksi protes meluas di berbagai penjuru Amerika Serikat, mencerminkan bahwa publik tidak tinggal diam melihat arah kebijakan pemimpinnya yang dinilai ekstrem. Seperti laporan AFP pada Minggu (6/4/2025), puluhan ribu warga turun ke jalan dalam unjuk rasa besar-besaran — disebut-sebut sebagai yang paling masif sejak Trump kembali memimpin dari Gedung Putih.
Demonstrasi ini merambah kota-kota utama, dari pusat kekuasaan di Washington hingga jantung urban seperti New York, Houston, Florida, Colorado, dan Los Angeles. Massa menentang kebijakan pengurangan pegawai negeri, perang tarif, hingga ancaman terhadap hak-hak sipil.
“Saya sangat marah, saya sangat marah, sepanjang waktu, ya. Sekelompok pemerkosa kulit putih yang memiliki hak istimewa mengendalikan negara kita. Itu tidak bagus,” kata Shaina Kesner, seorang pelukis asal New York yang turut berdemo di Manhattan.
Di tengah ribuan demonstran yang memenuhi area National Mall di Washington, banyak yang datang dari pelosok negara untuk menyuarakan keresahan atas masa depan bangsa mereka.
“Kami memiliki sekitar 100 orang yang datang dengan bus dan van dari New Hampshire untuk memprotes pemerintahan yang keterlaluan ini (yang) menyebabkan kita kehilangan sekutu di seluruh dunia, dan menyebabkan kehancuran bagi orang-orang di sini di tanah air,” ujar Diane Kolifrath, seorang pemandu wisata sepeda berusia 64 tahun. “Mereka menghancurkan pemerintahan kita,” imbuhnya.
Tak hanya di dalam negeri, gema aksi penolakan juga bergema hingga ke luar negeri. Di Berlin dan London, ratusan warga yang prihatin terhadap dampak global dari kebijakan Trump turut melangsungkan demonstrasi.
Salah satu aksi yang mencolok terjadi di Los Angeles, di mana seorang perempuan mengenakan kostum tokoh dari novel distopia The Handmaid’s Tale sembari mengibarkan bendera bertuliskan: “Keluar dari rahimku” — sebuah sindiran terhadap kebijakan anti-aborsi yang diperjuangkan Trump.
Di Denver, Colorado, suara-suara perlawanan tak kalah nyaring. Seorang demonstran mengangkat papan bertuliskan “Tidak ada raja untuk AS,” menandakan bahwa rakyat Amerika menolak otoritarianisme dalam balutan demokrasi.
Sementara itu, dari London, warga negara ganda Amerika-Inggris, Liz Chamberlin, mengungkapkan pada AFP: “Apa yang terjadi di Amerika adalah masalah semua orang.” Ia menambahkan, “Itu kegilaan ekonomi… Dia akan mendorong kita ke dalam resesi global.”
Di Berlin, Susanne Fest, pensiunan berusia 70 tahun, turut menyuarakan keprihatinannya: “Trump telah menciptakan ‘krisis konstitusional,'” seraya menambahkan, “Orang itu gila.”
Gelombang suara penentangan yang menyatu lintas benua ini menjadi cerminan bahwa kebijakan seorang pemimpin tak hanya berdampak pada batas negaranya, melainkan juga pada denyut nadi tatanan dunia.