Fenomena manipulasi kualitas beras yang marak di pasaran akhirnya diungkap secara gamblang oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (16/7), Mentan mengungkap bahwa praktik pengoplosan beras menyebabkan kerugian fantastis yang dialami masyarakat, yakni mencapai Rp99 triliun per tahun.
Akumulasi Kerugian Bisa Lebih Parah
Angka tersebut bukanlah kerugian jangka panjang, melainkan estimasi kerugian dalam satu tahun saja. Mentan menyebutkan bahwa praktik ini bukanlah fenomena baru, melainkan sudah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.
“Kalau ini Rp 99 triliun itu adalah (kerugian) masyarakat. Sebenarnya ini (nilai kerugian) satu tahun, tetapi kalau ini terjadi 10 tahun atau 5 tahun, karena ini bukan hari ini terjadi, ini sudah berlangsung lama, Pak. Tetapi nanti angkanya sudah pasti, bukan Rp 100 triliun, pasti di atas kalau ini dilacak ke belakang,” kata Amran.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa potensi kerugian yang belum tercatat bisa jauh lebih besar bila ditelusuri ke belakang dalam kurun waktu lima hingga sepuluh tahun terakhir. Seperti gunung es, apa yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari permasalahan besar yang tersembunyi.
Modus Licik: Bungkus Premium, Isinya Biasa
Mentan menjabarkan cara kerja para pelaku yang terlibat dalam praktik culas ini. Beras biasa atau curah dijual seolah-olah sebagai beras premium hanya dengan mengganti kemasannya. Dengan demikian, harga bisa dinaikkan secara signifikan, meskipun mutu beras sama sekali tidak berubah.
“Ini beras biasa, dijual dengan premium, beras curah ini tinggal ganti bungkus dan ada foto-fotonya sama kami, Pak. Kami serahkan ke penegak hukum. Kemudian ini bungkus premium, ini tinggal mau beli yang mana. Jadi harganya yang naik, bukan kualitasnya yang naik,” kata Amran.
Dalam analoginya, Amran menyamakan praktik ini dengan menjual emas berkadar 18 karat namun diklaim sebagai 24 karat. Sebuah bentuk penyesatan yang mengecoh konsumen secara terang-terangan.
“Ibaratnya emas 24 karat, sebenarnya ini 18 karat tetapi dijual 24 karat. Jadi ini kami temukan, bukan kami periksa Pak, kami tim independen ada 13 lab yang periksa seluruh Indonesia, termasuk Sucofindo,” tambahnya.
Ratusan Merek Terkait, Sebagian Sudah Tarik Produk
Dalam upaya mengungkap jaringan beras oplosan, Kementerian Pertanian telah menguji sampel dari 268 merek yang beredar di berbagai wilayah di Indonesia. Dari proses pemeriksaan tersebut, beberapa produsen diketahui telah menarik produknya dari peredaran dan menyesuaikan harga sesuai dengan standar yang berlaku.
“Alhamdulillah kemarin kami cek merek yang sudah diumumkan itu sudah mulai sebagian, belum seluruhnya, Ibu, itu menarik dan mengganti harganya. Harganya sesuai standar dan kualitasnya sama. Itu yang terjadi ini, sudah ada perubahan, Ibu,” ucap Amran.
Langkah ini menunjukkan adanya respons positif dari sebagian pelaku usaha, meskipun belum merata di seluruh sektor industri beras.
Langkah Hukum dan Temuan Uji Laboratorium
Guna memperkuat proses hukum, Kementan telah melayangkan surat kepada pihak berwenang, mulai dari Kepolisian hingga Kejaksaan Agung. Sebanyak 26 merek telah diperiksa secara mendalam, dan menurut laporan yang diterima, para pelaku mengakui perbuatannya.
“Tanggal 10 sudah diperiksa, ada 26 merek, dan menurut laporan yang kami terima, bahwa mereka mengakui,” ucap Amran.
Dari hasil pengujian laboratorium yang dilakukan oleh 13 laboratorium independen, diketahui bahwa sebanyak 85 persen beras dengan label premium ternyata tidak sesuai dengan standar mutu. Banyak di antaranya yang bukan hasil pencampuran, namun hanya beras curah yang dikemas ulang dan dijual dengan harga premium atau medium.
“Kemudian ini 85% yang tidak sesuai standar. Ada yang dioplos, ada yang tidak dioplos, langsung ganti kemasan. Jadi ini semua beras curah tetapi dijual harga premium. Beras curah tetapi dijual harga medium,” tuturnya.
“Ada 13 (lab) seluruh Indonesia, karena kami khawatir kalau ada beda hasil dari lab. Jadi kami sangat hati-hati, Ibu Ketua,” tambah dia.
Ancaman terhadap Kepercayaan Konsumen
Praktik semacam ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga mencederai kepercayaan masyarakat terhadap produk pangan di pasar. Ketika masyarakat tidak lagi yakin dengan label kualitas yang tercantum pada kemasan, maka pasar kehilangan transparansi dan kredibilitasnya.
Pemerintah diharapkan segera bertindak lebih tegas terhadap para pelaku manipulasi ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi sistem distribusi pangan nasional. Penguatan pengawasan, sertifikasi mutu, serta keterbukaan data hasil uji laboratorium harus menjadi prioritas demi menciptakan ekosistem pangan yang jujur dan sehat.