Kolam Limbah Tambang Nikel di Raja Ampat Runtuh, Pencemaran Laut Tak Terhindarkan

Sahrul

Insiden pencemaran lingkungan kembali mencoreng keindahan alam Raja Ampat. Tim dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan adanya kolam penampungan limbah (settling pond) yang mengalami kerusakan hingga akhirnya mencemari laut saat melakukan peninjauan di lokasi tambang nikel.

Kolam limbah, yang sejatinya berfungsi sebagai benteng terakhir pengolahan air buangan dari kegiatan tambang, kini justru menjadi sumber masalah. Kolam ini dirancang untuk menahan endapan lumpur, partikel-partikel padat, serta sedimen sebelum air limbah dilepas kembali ke alam. Ibarat penyaring besar, perannya sangat vital guna mencegah pencemaran dan menahan erosi yang dapat merusak wilayah daratan maupun perairan.

Namun, dalam kasus Raja Ampat, peran pelindung tersebut gagal dijalankan. Jebolnya kolam penampungan membuat air limbah mengalir bebas ke laut, membawa serta material yang mengakibatkan kekeruhan dan pencemaran.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengonfirmasi bahwa kolam limbah yang jebol tersebut milik perusahaan tambang PT Anugerah Surya Pratama (ASP).

“PT ASP ditemukan melakukan kegiatan pertambangan tanpa manajemen lingkungan yang memadai, menyebabkan pencemaran air laut dan kekeruhan tinggi di pantai,” ujar Hanif.

Lebih lanjut, Hanif menegaskan bahwa langkah penegakan hukum kini sedang dipersiapkan.

“Atas indikasi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akan dilakukan penegakan hukum pidana dan gugatan perdata,” imbuhnya pada Minggu (8/6/2025).

Seperti dilansir Antara, usai melakukan inspeksi di area terdampak, KLH telah memasang papan pengawasan atau segmen segel di lokasi sebagai tanda bahwa area tersebut kini berada dalam pemantauan ketat.

PT ASP sendiri beroperasi berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, yang dikeluarkan lewat SK Menteri ESDM No. 91201051135050013, berlaku mulai 7 Januari 2024 hingga 7 Januari 2034. Area konsesi yang dikelola perusahaan tersebut mencakup wilayah seluas 1.173 hektare di Pulau Manuran.

Di masa lalu, PT ASP pernah mengantongi dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan UKL-UPL pada tahun 2006, yang dikeluarkan oleh Bupati Raja Ampat. Tak hanya di Manuran, perusahaan ini juga memiliki izin untuk melakukan kegiatan penambangan di Pulau Waigeo, yang saat ini berstatus sebagai kawasan suaka alam—sebuah wilayah yang seharusnya memiliki perlindungan ekstra dari gangguan manusia.

Namun demikian, menurut Hanif, hingga kini KLH belum menerima dokumen lingkungan terbaru dari PT ASP.

“Kami akan minta dokumen itu untuk direview karena terbukti terjadi pencemaran serius. Bahkan, sistem pengelolaan lingkungannya belum tersedia,” katanya.

Hanif menambahkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan penegakan hukum lanjutan. Selain PT ASP, perusahaan lain yakni PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) juga terancam menghadapi proses hukum akibat indikasi pelanggaran serupa.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) turut menggelar inspeksi ke lokasi. Namun hasil pengamatan mereka, khususnya di Pulau Gag, justru berbeda dengan temuan KLH.

“Kami lihat dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi overall ini sebetulnya tambang ini gak ada masalah,” tutur Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno.

Kini, publik menantikan tindak lanjut dari otoritas terkait. Di tengah pesona Raja Ampat yang dikenal bak permata biru di ujung timur Nusantara, pencemaran laut akibat kelalaian pengelolaan limbah menjadi ironi yang tak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Also Read

Tags

Leave a Comment