Tragedi meninggalnya seorang pelajar SMPN 19 Tangerang Selatan berinisial MH (13) kembali membuka luka lama soal praktik perundungan yang tak kunjung sirna dari lingkungan pendidikan. Remaja yang masih duduk di bangku kelas dua itu mengembuskan napas terakhir setelah sempat dirawat selama hampir sepekan di rumah sakit akibat luka yang diduga berasal dari aksi kekerasan teman sebaya. Kasus ini sontak mendapat sorotan tajam dari anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah perlindungan anak.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Singgih Januratmoko, menegaskan bahwa siapa pun yang terbukti melakukan perundungan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. Ia menilai, meski pelaku masih berusia belia, proses hukum tetap harus berjalan sesuai jalur yang digariskan peraturan perundang-undangan.
“Karena pelaku masih di bawah umur maka diproses hukum sesuai aturan,” kata Singgih kepada wartawan, Selasa (18/11/2025).
“(Atau bisa) menjadi pekerja sosial. Disanksi yang mendidik,” sambungnya.
Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sanksi bagi pelaku yang masih berstatus anak tidak semata-mata bersifat menghukum, tetapi juga diarahkan agar memberi efek koreksi dan mengandung nilai edukatif. Namun demikian, kasus hilangnya nyawa korban tetap menjadi keprihatinan yang harus ditangani serius oleh aparat penegak hukum.
Komisi VIII: Bullying yang Merenggut Nyawa Tidak Bisa Ditoleransi
Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, turut menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menilai maraknya aksi perundungan yang berakhir fatal ibarat sinyal bahaya yang harus segera ditindak sebelum semakin banyak anak menjadi korban.
“Kami dari Komisi VIII DPR RI sangat mengecam tindakan pembullyan yang mengakibatkan hilangnya nyawa ini,” ujarnya.
Atalia mengingatkan bahwa pelaku masih tergolong anak di bawah umur sehingga penanganan hukumnya harus mengacu pada aturan khusus yang dirumuskan untuk melindungi hak-hak anak. Ia menegaskan bahwa kerangka hukum Indonesia sudah memberikan batasan yang jelas.
“Terkait sanksi bagi pelaku, kita merujuk ke peraturan UU yang berlaku pada Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak menjelaskan mengenai larangan segala bentuk kekerasan terhadap anak, sementara sanksinya ada di Pasal 80 ayat 1 hukuman penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan ayat (3) menetapkan hukuman pidana yang berat jika kekerasan tersebut mengakibatkan anak meninggal dunia dengan ancaman penjara 15 tahun,” jelasnya.
Menurut Atalia, kasus ini bukan hanya soal pelaku, tetapi mencerminkan adanya celah pengawasan di lingkungan sekolah. Ibarat pagar yang berlubang, celah kecil itu dapat menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan.
Ia meminta semua pihak, baik sekolah, orang tua, maupun pemerintah, memperkuat ekosistem pencegahan perundungan agar peristiwa kelam ini tidak kembali terulang.
“Yang sangat disayangkan adalah kejadian ini terjadi dilingkungan sekolah. Maka, perlu di cek bagaimana sistem pengawasan di sekolah, apakah ada unsur kelalaian, dan sebagainya,” ujar dia.
“Ke depannya diharapkan awareness tumbuh di dalam ekosistem sekolah. Sosialisasi lebih dimasifkan, saluran saluran pelaporan didekatkan, dan kapasitas guru BK ditingkatkan,” imbuhnya.
Polres Tangsel Benarkan Korban Tewas Usai Dirawat Sepekan
Sebelumnya, Polres Tangerang Selatan telah mengonfirmasi kabar mengenai meninggalnya MH. Pelajar tersebut menghembuskan napas terakhir di sebuah rumah sakit di Jakarta setelah mendapatkan perawatan intensif selama sekitar satu minggu.
“Bapak Kapolres Tangerang Selatan (AKBP Victor Inkiriwang) menyampaikan turut berdukacita sedalam-dalamnya dan akan menangani perkara tersebut secara profesional,” kata Kasi Humas Polres Tangsel AKP Agil, Minggu (16/11).
Kepolisian memastikan bahwa proses penyelidikan akan dilakukan secara menyeluruh untuk mengetahui rangkaian peristiwa, termasuk mengungkap peran masing-masing pihak yang terlibat. Hingga kini, aparat disebut masih mengumpulkan keterangan saksi dan bukti medis guna memastikan penyebab kematian korban.
Seruan Evaluasi Menyeluruh Lingkungan Sekolah
Tragedi yang menimpa MH menjadi pengingat bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat aman bagi generasi muda untuk bertumbuh, bukan arena kekerasan yang menimbulkan luka fisik dan psikologis. Peristiwa ini disebut sebagai lonceng keras bagi dunia pendidikan untuk melakukan introspeksi menyeluruh.
Komisi VIII meminta agar pemerintah daerah, institusi pendidikan, serta aparat keamanan duduk bersama merumuskan langkah konkret—mulai dari perbaikan pengawasan, edukasi anti-bullying, hingga penanganan darurat jika aksi kekerasan terjadi.






