Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali mendidih bak kawah yang nyaris meluap. Israel melancarkan serangan langsung ke wilayah Iran, menargetkan sejumlah titik vital seperti pusat pengembangan nuklir, lokasi peluncuran rudal balistik, hingga sosok-sosok strategis di jajaran militer Iran.
Efek domino dari ketegangan itu tak butuh waktu lama untuk menyebar ke sektor ekonomi global. Pasar komoditas pun seperti disengat lonjakan adrenalin. Minyak mentah, yang ibarat darah kehidupan bagi perekonomian global, melonjak tajam seiring meningkatnya kekhawatiran pasar atas potensi gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah yang kaya energi.
Menurut laporan Reuters pada Jumat (13/6/2025), harga minyak melambung lebih dari 7%, mendekati rekor tertinggi dalam beberapa bulan terakhir. Brent, yang merupakan patokan harga minyak global, terkerek naik hingga US$ 74,46 per barel, melonjak sekitar US$ 5,1 atau 7,4% setelah sempat menyentuh US$ 78,50, level tertinggi sejak akhir Januari.
Di sisi lain, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dari Amerika Serikat juga mencatat kenaikan serupa. Harga WTI naik sebesar US$ 5,1 atau 7,5%, menembus US$ 73,15 per barel, bahkan sempat melesat ke angka US$ 77,62, tertinggi sejak 21 Januari.
Situasi yang bergejolak ini memicu ketakutan bahwa Iran bisa saja membalas serangan tersebut, yang berujung pada ketidakpastian suplai minyak global dan mengganggu kestabilan pasar energi.
Safe Haven Jadi Tempat Berlindung: Emas dan Dolar AS Bersinar
Ketika badai ketidakpastian datang, para investor global pun berbondong-bondong mencari tempat berlindung. Seperti semut mencari gula, aset safe haven pun jadi rebutan. Dolar Amerika Serikat sebagai mata uang kuat kembali menunjukkan taringnya. Indeks dolar AS, yang mencerminkan nilai tukarnya terhadap sekeranjang mata uang utama, naik sebesar 0,42% dan bertengger di level 98,33 poin.
Tak hanya itu, harga logam mulia seperti emas juga ikut bersinar terang di tengah kabut konflik. Berdasarkan data dari Reuters, harga emas spot menguat 1% menjadi US$ 3.417,59 per ons, menyentuh puncak tertinggi dalam dua bulan terakhir, atau sejak 22 April. Dalam hitungan rupiah dengan asumsi kurs Rp 16.200 per dolar, harga tersebut setara dengan Rp 1,95 juta per gram.
Sepanjang minggu ini saja, harga emas batangan sudah mengalami kenaikan lebih dari 3,2%, memperlihatkan bahwa logam mulia kembali menjadi pilihan utama saat pasar dilanda gejolak. Harga emas berjangka AS juga turut meningkat sebesar 1% hingga menyentuh angka US$ 3.438 per ons. Di dalam negeri, harga emas Logam Mulia Antam pun terkerek menjadi Rp 1,95 juta, naik Rp 23 ribu secara harian.
Bitcoin & Bursa Global Terkapar
Namun tidak semua instrumen keuangan mendapat berkah dari konflik. Pasar kripto justru terkena hantaman keras. Bitcoin, sang raja aset digital, anjlok ke bawah level US$ 105.000, didorong oleh ketegangan geopolitik dan aksi likuidasi masif di pasar derivatif serta spot.
Data dari Coinglass mencatat bahwa likuidasi mencapai lebih dari US$1,148 juta, sementara volume perdagangan Bitcoin tercatat sebesar US$369 miliar. Kapitalisasi pasar aset kripto pun turun sekitar 3,38%. Ethereum (ETH) ambles 9,5%, XRP merosot 5,71%, dan Solana (SOL) tumbang 10,16%.
Arah pasar yang kini cenderung defensif mengingatkan pada dinamika pergerakan di awal tahun 2025, saat gejolak global juga sempat mengguncang sektor keuangan digital.
Pasar Saham Terjun: Asia hingga Amerika Terseret
Bukan hanya kripto yang terjungkal. Bursa saham global pun ikut terombang-ambing dalam badai kekhawatiran. Di wilayah Asia-Pasifik, indeks saham besar mengalami penurunan serentak.
Di Indonesia, IHSG pada Jumat (13/6/2025) dibuka di angka 7.191,12, dan bergerak lesu sepanjang hari. Indeks akhirnya ditutup melemah 38,31 poin atau 0,53%, berada di posisi 7.166,07. Nilainya sempat menyentuh puncak 7.192,66 sebelum jatuh ke titik terendah 7.149,61.
Di Jepang, Nikkei 225 menyusut 0,89% ke level 37.834,25, dan Topix terkoreksi 0,95% menjadi 2.756,47. Korea Selatan mencatat penurunan di dua indeks utama: Kospi merosot 0,87% ke level 2.894,62, dan Kosdaq, yang mewakili saham-saham kecil, tergelincir 2,61% ke 768,86.
Di Australia, S&P/ASX 200 turun tipis 0,21% ke angka 8.547,40, sedangkan Hang Seng Hong Kong melemah 0,59% menjadi 23.892,56. Bursa Tiongkok juga tidak luput, dengan CSI 300 jatuh 0,72% ke posisi 3.864,18.
Guncangan juga terasa di pasar modal Amerika Serikat. Saat pembukaan perdagangan Jumat (13/6/2025), indeks-indeks utama Wall Street langsung memasuki zona merah. Ketidakpastian akibat potensi eskalasi konflik di kawasan penghasil minyak terbesar dunia membuat investor menarik diri dari aset berisiko.
Reuters melaporkan bahwa Dow Jones Industrial Average turun 388,1 poin atau 0,90% menjadi 42.579,48. Indeks S&P 500 merosot 44,7 poin atau 0,74%, hingga mencapai 6.000,56, sementara Nasdaq Composite ambruk 211,6 poin atau 1,08% dan turun ke level 19.450,93.