Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza kembali menunjukkan wajah tragisnya. Kementerian Kesehatan Gaza pada Minggu (4/8) melaporkan bahwa enam orang meninggal dunia akibat kelaparan dan malnutrisi hanya dalam kurun waktu 24 jam terakhir. Dengan tambahan korban ini, total kematian akibat bencana kelaparan yang disebut lembaga-lembaga kemanusiaan internasional sebagai “berkepanjangan” kini mencapai 175 jiwa, termasuk 93 anak-anak, sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober 2023.
Blokade Mematikan dan Respons Internasional
Pemerintah Jerman secara tegas menyatakan bahwa tragedi kelaparan yang terus melanda Gaza bersumber dari blokade ketat yang diberlakukan Israel. Pernyataan ini menambah tekanan diplomatik terhadap Tel Aviv di tengah kritik global yang kian meluas.
Sementara itu, Al-Qahera TV, media yang terafiliasi dengan pemerintah Mesir, mengabarkan bahwa dua truk yang membawa 107 ton solar dijadwalkan masuk ke Gaza. Ini menjadi salah satu pengiriman bahan bakar terbesar setelah Israel selama berbulan-bulan membatasi masuknya bantuan ke wilayah kantong Palestina tersebut. Langkah pelonggaran dilakukan setelah tanda-tanda kelaparan mulai menyebar luas di tengah masyarakat.
Badan militer Israel, COGAT, yang mengoordinasikan penyaluran bantuan, menyebut empat tanker bahan bakar PBB telah masuk Gaza untuk mendukung pengoperasian fasilitas vital seperti rumah sakit, toko roti, dapur umum, dan layanan kemanusiaan lainnya. Namun, belum ada kepastian apakah dua truk solar dari Mesir benar-benar sudah berhasil masuk melewati perbatasan.
Dampak Kekurangan Bahan Bakar
Kementerian Kesehatan Gaza mengungkapkan bahwa minimnya pasokan bahan bakar membuat operasional rumah sakit lumpuh, memaksa tenaga medis memprioritaskan penanganan pasien dalam kondisi kritis dan mereka yang mengalami luka berat. Sejak Maret, distribusi bahan bakar ke Gaza sangat jarang terjadi menyusul kebijakan Israel yang membatasi bantuan sebagai bentuk tekanan terhadap kelompok Hamas agar melepaskan para sandera dari serangan 7 Oktober.
Meski Israel menyalahkan Hamas atas penderitaan warga sipil, pemerintah Negeri Zionis itu baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru: menghentikan pertempuran selama beberapa jam di titik tertentu, mengizinkan pengiriman bantuan lewat udara, serta menyediakan jalur aman bagi konvoi kemanusiaan. Namun, badan-badan PBB menilai langkah tersebut belum memadai. Mereka mendesak agar bantuan darat dibuka lebih luas untuk mencegah kelaparan meluas di antara 2,2 juta penduduk Gaza, sebagian besar di antaranya kini hidup mengungsi di reruntuhan bangunan yang porak-poranda.
COGAT mengklaim bahwa selama sepekan terakhir, 23.000 ton bantuan kemanusiaan melalui 1.200 truk telah masuk Gaza. Akan tetapi, ratusan truk itu belum seluruhnya bisa didistribusikan oleh PBB maupun lembaga bantuan internasional lainnya karena berbagai hambatan di lapangan.
Pernyataan Tegas dari Jerman
Menteri Luar Negeri Jerman, Johann Wadephul, yang baru saja menyelesaikan kunjungan ke Israel dan Palestina, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan Israel.
“Kami telah lama mengamati bahwa blokade de facto Israel atas Jalur Gaza menyebabkan kelaparan, yang menyebabkan orang-orang meninggal, menderita, dan kekurangan air,” ujar Wadephul kepada penyiar Jerman, Deutschlandfunk.
Ia menegaskan bahwa situasi kemanusiaan di Gaza harus mengalami perubahan mendasar.
“Saya harap pesan itu telah didengar. Saya merasa sudah,” tambahnya.
Wadephul memperingatkan Israel bahwa kebijakan kerasnya berpotensi membuat negara tersebut terisolasi secara internasional.
“Jerman tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. Kita juga harus membantu Israel agar tidak terjerumus ke dalam situasi seperti itu,” ujarnya, seraya menekankan bahwa Berlin terus memberikan nasihat dan dukungan bagi Israel “melalui proses pengambilan keputusan yang sulit ini.”
Dilema Politik dan Seruan Bantuan
Dalam pernyataannya, Wadephul juga mengakui bahwa Jerman tetap menjadi salah satu negara yang belum mengakui Palestina.
“Ini adalah sesuatu yang juga harus kita akui,” tuturnya.
Ia menilai krisis kemanusiaan di Gaza mendorong semakin banyak negara mempertimbangkan pengakuan sepihak terhadap Palestina, meskipun hal tersebut kerap dianggap mengabaikan kepentingan Israel.
“Ini mengkhawatirkan kita—dan seharusnya juga mengkhawatirkan Israel. Kami berusaha memberikan nasihat, membuka mata mereka, dan bekerja agar Israel berada dalam posisi yang lebih baik daripada sebelumnya,” ungkapnya.
Wadephul pun menyerukan agar organisasi kemanusiaan internasional, termasuk PBB, Palang Merah, serta lembaga amal keagamaan, dapat kembali beroperasi di Gaza.
“Jika diberi akses, organisasi-organisasi ini dapat melakukan tugas mereka,” ujarnya.
Ketika ditanya kapan akses tersebut bisa dimulai, Wadephul menekankan bahwa situasi telah sedikit membaik setelah pertemuan diplomatik pekan ini.
“Ini bisa dimulai besok—dan, faktanya, sudah membaik. Sebagai hasil dari pertemuan saya dengan pemerintah Israel minggu ini, jumlah truk yang memasuki Gaza jauh lebih banyak dibandingkan minggu lalu,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa volume bantuan yang ada masih jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan warga Gaza dan memastikan Jerman akan terus memantau perkembangan krisis ini secara ketat.