Kredit Fiktif di Jepara, KPK Resmi Jerat Dirut BPR dan 4 Orang Lain

Sahrul

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Direktur Utama PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Jepara Artha (Perseroda), Jhendik Handoko, sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi penyaluran kredit usaha. Selain Jhendik, empat individu lain turut diciduk dan dijadikan tersangka dalam kasus yang mencuat pada Kamis (18/9/2025).

Mereka adalah Iwan Nursusetyo yang menjabat Direktur Bisnis dan Operasional BPR Jepara Artha; Ahmad Nasir selaku Kepala Divisi Bisnis, Literasi, dan Inklusi Keuangan; Ariyanto Sulistiyono yang memimpin Bagian Kredit; serta Mohammad Ibrahim Al-Asyari, Direktur PT Bumi Manfaat Gemilang.

“KPK kemudian menetapkan lima orang sebagai tersangka, yaitu JH selaku Direktur Bisnis dan Operasional BPR Jepara Artha; IN selaku Direktur Bisnis dan Operasional BPR Jepara Artha; AN selaku Kepala Divisi Bisnis, Literasi dan Inklusi Keuangan BPR Jepara Artha; AS selaku Kepala Bagian Kredit BPR Jepara Artha; dan MIA selaku Direktur PT. BMG,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.

Asep menjelaskan, keputusan itu diambil usai lembaganya melakukan pemeriksaan saksi, meminta keterangan ahli, menggeledah sejumlah lokasi baik rumah maupun kantor, serta menyita beragam dokumen, aset, hingga uang tunai.

“Para tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2025 sampai dengan 7 Oktober 2025. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” ujarnya.

Akar Masalah: Kredit Usaha Berujung Skandal

Benang merah perkara ini bermula pada tahun 2021, saat Jhendik Handoko yang kala itu memimpin BPR Jepara Artha menggulirkan program ekspansi kredit usaha berbasis sistem sindikasi, yakni pinjaman yang digelontorkan secara kolektif oleh beberapa bank kepada satu debitur.

Namun, dalam kurun dua tahun berikutnya, jumlah kredit yang tersalur ke dua kelompok debitur melonjak drastis, bahkan mencapai Rp130 miliar melalui 26 nama yang saling berafiliasi. Alih-alih menghasilkan profit, portofolio kredit tersebut justru terperosok dalam status macet. Kondisi ini membuat neraca bank babak belur lantaran harus menanggung beban pencadangan penuh, hingga laporan keuangan berbalik merugi.

Dari sinilah muncul kesepakatan antara Jhendik dan Ibrahim Al-Asyari untuk menciptakan skema kredit fiktif sebagai jalan keluar semu.

Kredit Bayangan: Modus Operandi

Menurut KPK, pencairan kredit fiktif sebagian digunakan untuk menutup tunggakan angsuran pinjaman bermasalah, sementara sisanya masuk ke kantong pribadi Ibrahim.

“Sebagai pengganti jumlah nominal kredit yang digunakan BPR Jepara Artha, Jhendik menjanjikan penggantian berupa penyerahan agunan kredit yang kreditnya dilunasi dengan menggunakan dana kredit fiktif kepada Ibrahim Al-Asyari,” ujarnya.

Asep merinci, sepanjang 2022 hingga 2023, BPR Jepara Artha menyalurkan 40 kredit fiktif dengan total nilai Rp263,6 miliar. “Kredit dicairkan tanpa dasar analisis yang sesuai dengan kondisi debitur yang sebenarnya,” tuturnya.

Yang lebih mencengangkan, para debitur hanyalah orang-orang dengan profesi sederhana seperti pedagang kecil, buruh, tukang, hingga pengemudi ojek daring, bahkan ada yang pengangguran. Identitas mereka sekadar dipinjam untuk mengelabui dokumen agar seolah-olah layak menerima pinjaman miliaran rupiah.

Ibrahim bersama rekannya mencari individu yang bersedia meminjamkan nama dengan iming-iming komisi sekitar Rp100 juta per orang. Untuk melengkapi berkas, mereka juga memalsukan dokumen penunjang, mulai dari izin usaha, rekening koran, foto aktivitas bisnis orang lain, sampai laporan keuangan yang dilebih-lebihkan.

“Juga untuk menyiapkan dokumen pendukung yang diperlukan BPR Jepara Artha berupa perizinan, rekening koran fiktif, foto usaha milik orang lain dan dokumen keuangan yang dimark up agar mencukupi dan seolah-olah layak dalam analisis berkas kredit BPR Jepara Artha,” kata dia.

Aliran Uang dan Gratifikasi

Dari realisasi kredit fiktif itu, Ibrahim menyisihkan dana untuk disalurkan kepada jajaran BPR Jepara Artha yang terlibat.

“JH, sebesar Rp 2,6 miliar; IN, sebesar Rp 793 juta; AN, sebesar Rp 637 juta; AS, sebesar Rp 282 juta, dan uang umrah untuk JH, IN dan AN sebesar Rp 300 juta,” kata dia.

Atas praktik tersebut, para tersangka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Also Read

Tags