Krisis Kemanusiaan Sudan: Tanda-Tanda Genosida Baru Mulai Terlihat?

Sahrul

Tragedi kemanusiaan kembali membayangi Sudan. Dunia internasional kini menatap dengan cemas setelah muncul laporan mengerikan tentang pembantaian massal di El-Fasher, ibu kota Darfur Utara, yang diduga menjadi sinyal awal terjadinya genosida baru di kawasan tersebut.

Dalam laporan yang dirilis Koordinasi Komite Perlawanan Sudan (Sudanese Coordination of Resistance Committees), disebutkan bahwa “korban sakit dan terluka dieksekusi secara kejam,” dua hari setelah Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) merebut kendali penuh atas kota itu. Organisasi tersebut menuding milisi RSF melakukan eksekusi brutal di Rumah Sakit Al Saudi, tempat ratusan warga sipil mencari perlindungan. Hampir semua orang yang berada di sana, kata laporan itu, dibunuh atau dibiarkan mati tanpa pertolongan.

Analisis Humanitarian Research Lab dari Yale School of Public Health memperkuat temuan tersebut. Dari citra satelit, para peneliti menemukan “kumpulan objek yang konsisten dengan ukuran tubuh manusia dan perubahan warna tanah kemerahan” di sekitar rumah sakit di El-Fasher — gambaran yang menjadi saksi bisu kebiadaban di lapangan.

Laporan awal menyebut, sedikitnya 2.000 warga sipil tewas hanya dalam kurun tiga hari. Akses informasi sangat terbatas karena RSF memutus komunikasi satelit, membuat situasi di dalam kota seolah terbungkus kabut pekat tanpa suara.

Seorang perempuan yang berhasil melarikan diri ke luar kota menggambarkan penderitaan warga sipil yang ditinggalkan. “RSF mengambil semua yang kami miliki, mereka bahkan menggeledah pakaian dalam kami dan meninggalkan kami tanpa apa-apa — tanpa uang, tanpa ponsel,” tuturnya kepada DW pada Rabu (29/10). “Mereka melakukan uji coba militer terhadap orang-orang, dan jika mengetahui seseorang memiliki pengetahuan atau keterkaitan dengan urusan militer, mereka langsung dieksekusi,” tambahnya.

Konflik yang Membelah Sudan

Kekerasan terbaru ini menandai babak paling kelam dari perang internal Sudan yang telah berlangsung sejak April 2023. Pertikaian bermula ketika Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, berselisih dengan RSF di bawah komando Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemeti, terkait rencana integrasi milisi ke dalam tentara nasional.

Perselisihan itu berubah menjadi perang total yang memporakporandakan negeri kaya sumber daya tersebut. Menurut International Rescue Committee, Sudan kini menghadapi krisis pengungsian terbesar dalam sejarah modern, dengan 14 juta warga terpaksa meninggalkan rumah mereka dari total populasi 51 juta. Sementara itu, kelaparan, wabah kolera, dan penyakit menular lainnya merebak tanpa kendali. Lembaga kemanusiaan memperkirakan sudah lebih dari 140.000 jiwa melayang akibat konflik ini.

Kini, setelah merebut El-Fasher, RSF menguasai sebagian besar wilayah Darfur dan selatan Sudan, sedangkan SAF masih bertahan di Khartoum serta wilayah utara dan tengah.

Kekejaman yang Terstruktur

Berbagai lembaga internasional menekan RSF agar membuka koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi sekitar 177.000 warga yang masih terjebak di El-Fasher. Namun, analis menilai kekerasan yang dilakukan RSF bukan hanya bentuk balas dendam, melainkan strategi militer yang sistematis untuk menaklukkan populasi.

Dengan SAF mundur, terutama warga sipil yang mendukung SAF kini mencoba melarikan diri, RSF memiliki kepentingan untuk menghina SAF dengan melampiaskan kekerasan pada warga sipil,” ujar Hager Ali, peneliti di GIGA Institute for Global and Area Studies, Jerman, kepada DW. “RSF juga berusaha menakut-nakuti warga sipil agar patuh di wilayah yang mereka kuasai.

Pada Maret lalu, RSF bersama kelompok bersenjata lain mendirikan Sudan Founding Alliance (TASIS), yang mengklaim memiliki mandat untuk membentuk “Pemerintahan Perdamaian dan Persatuan” di wilayah Darfur dan selatan. Dalam pernyataannya di platform X (Twitter), TASIS menyatakan:
Kami menegaskan posisi kami mengecam segala pelanggaran dan bekerja terus-menerus untuk menghentikannya. Namun perlu diluruskan: banyak video pelanggaran di media sosial adalah rekayasa dari media gerakan Islam, tentara bayaran dari pasukan gabungan, dan lainnya.

Namun, Leena Badri, peneliti kebijakan Sudan, menilai pernyataan itu hanyalah upaya TASIS untuk mencari legitimasi politik dan membangun struktur pemerintahan tandingan.

Akar Kekerasan yang Tak Pernah Padam

Kekejaman RSF bukan fenomena baru. Banyak pihak mengingatkan bahwa kelompok ini merupakan metamorfosis dari milisi Janjaweed, pelaku genosida di Darfur pada 2003–2005 yang menewaskan sekitar 300.000 warga sipil non-Arab.

RSF tidak lebih brutal daripada kekuatan lain di dunia. Namun perbedaannya adalah kebijakan mereka bersifat sistematis dan genosidial,” ujar Shayna Lewis, spesialis Sudan dan penasihat senior di PAEMA, organisasi nirlaba berbasis di AS. “Pembunuhan tanpa batas pasien dan staf medis di rumah sakit adalah modus operandi RSF,” tambahnya.

Jejaring Dukungan dan Perdagangan Emas

Konflik ini semakin kompleks karena didorong oleh kepentingan geopolitik dan ekonomi lintas negara. RSF diduga menerima pasokan senjata dari Uni Emirat Arab (UEA) melalui jalur Chad, sementara SAF mendapat dukungan dari Mesir dan Qatar. Adapun Arab Saudi memilih bersikap netral.

Bagi RSF, menguasai Darfur bukan hanya soal strategi militer, tetapi juga ekonomi. Wilayah itu kaya emas, sumber utama pembiayaan perang sekaligus alat tukar untuk menghindari sanksi internasional dan membeli persenjataan. Lokasinya yang dekat dengan perbatasan Libya dan Chad juga memungkinkan RSF mengontrol jalur logistik dan pergerakan warga sipil — menjadikan Darfur bukan sekadar medan perang, melainkan ladang emas berdarah bagi kelompok bersenjata.

Kini, dunia kembali dihadapkan pada pertanyaan klasik yang menggema setiap kali genosida terjadi: Apakah komunitas internasional akan bertindak sebelum terlambat, atau kembali hanya menjadi saksi bisu dari tragedi yang sama?

Also Read

Tags