Polemik mengenai empat pulau yang selama ini diklaim bagian dari Aceh namun ditetapkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai milik administratif Sumatera Utara kembali mencuat ke permukaan publik. Isu ini menghangat setelah muncul tudingan bahwa pengalihan wilayah tersebut merupakan “hadiah politik” untuk Presiden Joko Widodo yang merupakan ayah mertua dari Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution.
Menanggapi kabar yang bergulir tersebut, Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, akhirnya angkat bicara. Ia menilai bahwa narasi yang dibangun terkait isu ini terlalu mengada-ada dan cenderung menyimpang dari proses panjang yang sebenarnya sudah berjalan jauh sebelum kepemimpinan saat ini.
“Saya nggak melihat latar belakang politiknya lah ya karena memang ini sudah berproses lama,” kata Masinton kepada awak media pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Menurut Masinton, proses administrasi penetapan wilayah terhadap keempat pulau tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Ia menyebut bahwa diskusi dan pembahasan mengenai batas teritorial itu telah dilakukan sejak lama antara berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun di lingkup daerah.
“Dan saya tanya di aparatur pemerintahan daerah di Tapanuli Tengah ya memang ini sudah lama. Sudah pernah dibicarakan lama, panjang, antara pemerintah pusat atau provinsi,” lanjutnya.
Pernyataan itu sekaligus mempertegas bahwa tidak ada motif tersembunyi ataupun kepentingan pribadi yang melatarbelakangi keputusan dari Kemendagri terkait batas wilayah tersebut. Masinton secara tidak langsung menyamakan isu ini dengan kaset usang yang kembali diputar demi menciptakan kegaduhan politik.
Bobby Nasution: “Kalau Itu Hadiah, Harusnya Dipindah ke Solo”
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution juga tak tinggal diam menanggapi tuduhan bahwa empat pulau dari Aceh yang kini masuk Sumut adalah semacam pemberian khusus untuk keluarga Jokowi. Dalam pernyataannya, Bobby menampik keras anggapan tersebut dengan gaya sarkastik yang menyiratkan ketidaksenangannya atas framing tersebut.
“Kalau memang itu hadiah untuk Pak Jokowi, kenapa tidak dipindahkan saja ke Solo? Itu wilayah Tapteng, jadi hadiahnya bukan ke Bobby Nasution, tapi ke Bupati Tapteng. Karena nanti yang akan mengeluarkan izin segala macam itu Bupati Tapteng,” ujar Bobby.
Pernyataan tersebut menjadi bentuk sindiran keras terhadap mereka yang mencoba mempolitisasi masalah administratif sebagai isu nepotisme. Bobby juga menambahkan bahwa berdasarkan laporan yang diterimanya dari pihak pemerintah kabupaten, tidak ada penduduk tetap yang bermukim di keempat pulau tersebut. Hal ini memperkuat argumennya bahwa pulau-pulau itu bukan wilayah sengketa dengan dinamika sosial yang aktif.
Tak hanya itu, Bobby juga menunjukkan sikap terbuka jika Kemendagri atau pihak terkait ingin duduk bersama untuk meninjau kembali kebijakan ini, menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak alergi terhadap transparansi atau kritik konstruktif.
Bukan Wilayah Warisan, Tapi Produk Administratif
Dalam konteks yang lebih luas, perdebatan soal batas wilayah seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Dengan lebih dari 17 ribu pulau dan kompleksitas sejarah otonomi daerah, masalah batas administratif sering kali menimbulkan gesekan, baik secara hukum maupun emosional. Namun, Bupati Masinton mencoba menarik perhatian publik untuk tidak terjebak dalam retorika politik yang bisa mengaburkan realitas.
Masinton menyiratkan bahwa publik sebaiknya melihat persoalan ini melalui lensa legal dan prosedural, bukan dari sisi politis atau sentimen personal terhadap figur tertentu. Dalam hal ini, ia seolah mengajak masyarakat untuk tidak menari mengikuti gendang yang ditabuh oleh kepentingan-kepentingan tersembunyi.
Sementara itu, keempat pulau yang menjadi sorotan belum disebutkan secara rinci dalam pernyataan resmi Kemendagri. Namun, yang pasti, penetapan administratifnya sebagai bagian dari Sumatera Utara bukanlah hasil manuver sekejap, melainkan proses teknokratik yang berjalan seiring waktu dan verifikasi data spasial yang panjang.
Dengan demikian, tudingan bahwa pulau-pulau tersebut dijadikan hadiah politik tidak hanya keliru, tapi juga mencederai logika birokrasi yang selama ini berjalan dalam bingkai sistem pemerintahan yang sah.