Myanmar di Tengah Duka, Ketika Bencana Alam Tak Menghentikan Perang

Rohmat

Di tengah luka yang masih menganga akibat gempa bumi dahsyat yang mengguncang Myanmar, serangan udara militer tetap berlangsung tanpa jeda.

Bencana yang menewaskan sekitar 1.700 jiwa itu ternyata tak cukup menjadi alasan bagi junta militer untuk menghentikan gempuran mereka terhadap kelompok-kelompok oposisi bersenjata.

Pengeboman di Tengah Duka

Persatuan Nasional Karen (KNU), salah satu kelompok etnis bersenjata tertua di negara tersebut, mengungkapkan kekecewaannya terhadap junta yang lebih memilih melanjutkan serangan udara ke pemukiman sipil dibanding menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Mereka menilai, dalam kondisi seperti ini, seharusnya prioritas utama pemerintah adalah menyelamatkan rakyatnya, bukan justru memperparah penderitaan mereka.

“Rezim juga terus melancarkan serangan udara, termasuk di daerah-daerah yang terkena dampak. Hal ini harus dihentikan,” kata Richard Horsey, penasihat senior Myanmar di Crisis Group.

Ia juga menambahkan bahwa dukungan dari junta di wilayah terdampak nyaris tidak terlihat. “Pemadam kebakaran lokal, kru ambulans, dan organisasi masyarakat telah dimobilisasi, tetapi militer yang biasanya dimobilisasi untuk mendukung dalam krisis seperti itu tidak terlihat,” ungkapnya.

Mengutip Reuters, pihak junta militer enggan memberikan tanggapan terhadap kritik yang semakin deras mengalir dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.

Myanmar di Persimpangan Jalan

Sejak kudeta pada 2021, Myanmar terjerumus dalam perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok oposisi bersenjata.

Pemerintahan sah yang kala itu dipimpin oleh Aung San Suu Kyi digulingkan, dan sejak saat itu, ketegangan di negara tersebut tak kunjung mereda.

Konflik antara junta dan kelompok-kelompok perlawanan semakin intens, dengan rakyat sipil yang terus menjadi korban di tengah pertempuran.

Tak lama setelah gempa bumi berkekuatan 7,7 skala Richter mengguncang Myanmar pada Jumat lalu, militer dilaporkan meluncurkan serangan udara dan drone ke negara bagian Karen, lokasi yang dekat dengan markas KNU. Kondisi ini memperburuk keadaan warga yang sudah terdampak bencana alam.

Seruan Gencatan Senjata

Di tengah kekacauan ini, komunitas internasional menyerukan agar pertempuran segera dihentikan, setidaknya untuk memungkinkan distribusi bantuan kemanusiaan yang lebih efektif.

Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, dalam pertemuan virtual dengan ASEAN, menegaskan pentingnya gencatan senjata segera.

“(Balakrishnan) menyerukan gencatan senjata yang segera dan efektif di Myanmar yang akan memfasilitasi upaya-upaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan rekonsiliasi nasional jangka panjang, perdamaian dan rekonstruksi,” demikian pernyataan resmi dari Kementerian Luar Negeri Singapura.

Sebagai respons terhadap situasi ini, oposisi Pemerintah Persatuan Nasional, yang terdiri dari elemen-elemen pemerintahan sah sebelum kudeta, mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan semua operasi militer ofensif selama dua pekan.

Namun, meskipun beberapa kelompok perlawanan telah menangguhkan serangan mereka, bentrokan masih terus terjadi di berbagai wilayah.

Tragedi Tanpa Akhir

Myanmar kini berada dalam pusaran konflik yang semakin pelik. Bencana alam yang seharusnya menjadi momentum bagi persatuan dan kepedulian justru dimanfaatkan untuk melanjutkan aksi militer.

Dengan rakyat sipil yang menjadi korban di antara dua kubu yang bertikai, pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan penderitaan ini akan berlanjut?

Di tengah reruntuhan yang belum sempat dibersihkan dan luka yang belum sempat sembuh, harapan untuk perdamaian masih terasa samar.

Namun, satu hal yang pasti, dunia terus mengawasi—menanti kapan Myanmar akan menemukan jalannya keluar dari krisis berkepanjangan ini.

Also Read

Tags

Leave a Comment