Nilai tukar rupiah kembali terguncang bak perahu kecil yang dihantam gelombang besar di samudera keuangan global. Mata uang Garuda kini berada di kisaran Rp16.700 per dolar AS, memunculkan kekhawatiran publik: apakah rupiah benar-benar berisiko menembus level Rp17.000 per dolar AS?
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai kemungkinan rupiah mencapai titik tersebut masih dalam kategori moderat.
“Basis saya, probabilitasnya moderat, dengan syarat data tenaga kerja AS pekan depan kembali kuat sehingga menahan ekspektasi pelonggaran Fed dan mendorong dolar menguat lagi,” ujarnya kepada Kompas.com, Senin (29/9/2025).
Proyeksi Pergerakan Rupiah
Josua menjelaskan, dalam kondisi normal atau skenario dasar, rupiah diperkirakan tetap bergerak pada rentang Rp16.600–Rp16.800 dengan gejolak intrahari yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan analisis teknikal dan agenda ekonomi Amerika Serikat yang padat.
“Skenario penguatan di bawah 16.600 baru terbuka jika data ketenagakerjaan AS melunak jelas,” tambahnya.
Untuk jangka pendek, Josua menempatkan kisaran rupiah dalam pekan ini di Rp16.675–Rp16.775, mengikuti ekspektasi bahwa pasar tenaga kerja AS akan menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Namun ia mengingatkan, risiko lonjakan tetap ada bila data ekonomi Negeri Paman Sam justru lebih kokoh dari perkiraan.
Peran Intervensi Pemerintah
Di tengah gempuran arus global, Josua menyebut langkah bank sentral dan pemerintah terlihat jelas melalui upaya intervensi di pasar keuangan. Meski rupiah tertekan, pelemahan intraday masih mampu ditahan sehingga penutupan kurs relatif stabil di sekitar Rp16.741 per dolar AS.
“Intervensi ini umumnya dilakukan lintas pasar valas dan surat berharga negara guna meredam volatilitas berlebihan,” ungkapnya.
Dampak Negatif Jika Rupiah Terus Loyo
Josua menguraikan sederet konsekuensi yang bisa muncul apabila rupiah melemah dalam jangka panjang. Pertama, inflasi impor berpotensi melonjak karena harga energi, pangan olahan, obat-obatan, hingga barang modal akan semakin mahal. Situasi ini pada akhirnya bisa memangkas daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah, dan memperlambat pemulihan konsumsi.
Kedua, beban utang korporasi yang menggunakan valuta asing juga meningkat. Dengan bunga dan pokok utang yang lebih berat, margin keuntungan perusahaan bisa tergerus dan belanja modal tertahan, khususnya di sektor yang mengandalkan bahan baku impor.
Ketiga, kebutuhan pembiayaan pemerintah bisa membengkak. Yield Surat Berharga Negara (SBN) cenderung naik, sehingga kredibilitas fiskal menjadi semakin penting untuk menahan premi risiko yang bisa melebar.
Keempat, neraca pembayaran nasional rentan terguncang akibat lonjakan nilai impor dan arus modal yang rapuh. Kondisi ini menuntut penggunaan cadangan devisa lebih agresif untuk meredam ketidakstabilan.
Pentingnya Konsistensi Kebijakan
Dalam situasi penuh tekanan seperti ini, Josua menekankan arti penting konsistensi sinyal dari otoritas.
“Komunikasi fiskal yang jelas tentang defisit, komitmen menjaga disiplin anggaran, serta bauran kebijakan moneter-makroprudensial yang menahan inflasi dan menstabilkan ekspektasi kurs akan lebih efektif menurunkan premi risiko dan menutup celah arus modal keluar,” tutupnya.
Data Pasar Terkini
Mengacu pada catatan Bloomberg, rupiah di pasar spot Jumat sore (26/9/2025) ditutup melemah di level Rp16.738 per dolar AS, meski sempat menguat tipis 11 poin atau 0,07 persen dibanding sehari sebelumnya.
Sementara kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat angka Rp16.775 per dolar AS, lebih lemah dari posisi Kamis yang berada di Rp16.752 per dolar AS.