Pemerintah Suriah secara resmi mengumumkan penghentian bentrokan berdarah di wilayah selatan negara itu, tepatnya di Provinsi Suwayda, setelah pasukan keamanan dikerahkan untuk mengamankan area yang telah lama bergolak. Dalam operasi ini, militer Suriah membersihkan wilayah dari kehadiran pejuang Arab Badui yang sebelumnya terlibat konflik dengan komunitas Druze.
Langkah drastis ini disampaikan pada Sabtu lalu, beberapa jam usai Presiden Ahmed al-Sharaa memerintahkan gencatan senjata baru di antara dua kelompok yang berseteru. Instruksi itu hadir selaras dengan kesepakatan diplomatik yang dimediasi oleh Amerika Serikat guna mencegah eskalasi militer Israel terhadap Suriah.
Sebelum pengumuman resmi itu dirilis, suara dentuman senapan otomatis dan ledakan mortir masih terdengar menggema di Suwayda dan desa-desa sekitarnya. Namun hingga saat itu, belum ada laporan pasti mengenai korban dalam insiden terbaru tersebut.
Nour al-Din Baba, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Suriah, dalam pernyataan yang disiarkan melalui kantor berita SANA, menegaskan bahwa bentrokan telah dihentikan.
“Setelah upaya intensif” untuk melaksanakan perjanjian gencatan senjata dan pengerahan pasukan pemerintah di wilayah utara dan barat Provinsi Suwayda,” katanya.
“Kota Suwayda, yang terletak di bagian barat provinsi tersebut, kini telah dibersihkan dari semua pejuang suku, dan bentrokan di lingkungan kota telah dihentikan”.
Bara Konflik Dipantik dari Aksi Balas Dendam
Sumber kekacauan ini berakar dari sebuah insiden penculikan terhadap sopir truk dari komunitas Druze, yang memicu serangkaian aksi balasan. Ketegangan kemudian meningkat tajam ketika pejuang suku dari berbagai penjuru negeri datang ke Suwayda guna mendukung kaum Badui, yang merasa terancam.
Di sisi lain, Israel melancarkan serangan udara besar ke Suwayda dan ibu kota Damaskus pada Rabu, mengklaim tindakannya untuk melindungi komunitas Druze yang merasa menjadi korban represi oleh pasukan pemerintah Suriah.
Serangan militer Israel menjadi bara dalam sekam yang meledakkan konflik ini, menyebabkan pasukan Suriah menarik diri dari wilayah Suwayda pada Kamis. Kementerian Kesehatan Suriah menyatakan sedikitnya 260 orang tewas dan 1.700 lainnya mengalami luka-luka, meskipun beberapa kelompok pemantau menyebutkan korban jiwa melebihi 900 orang. Sementara itu, 87.000 warga dilaporkan mengungsi akibat kekerasan yang berkepanjangan.
Presiden al-Sharaa Serukan Persatuan Nasional
Konflik ini menjadi ujian berat bagi pemerintahan Ahmed al-Sharaa, yang baru saja naik takhta setelah menggulingkan Bashar al-Assad pada Desember lalu. Dalam pidato yang disiarkan secara nasional, al-Sharaa menyampaikan imbauan moral untuk mengakhiri permusuhan.
“Meskipun kami berterima kasih kepada klan [Badui] atas sikap heroik mereka, kami menyerukan mereka untuk mematuhi gencatan senjata dan mengikuti perintah negara,” ujarnya.
“Semua orang harus memahami bahwa momen ini membutuhkan persatuan dan kerja sama penuh, agar kita dapat mengatasi tantangan-tantangan ini dan melindungi negara kita dari campur tangan asing dan hasutan internal.”
Ia juga mengecam keras tindakan Israel yang dinilainya telah menyeret Suriah ke dalam fase krisis yang membahayakan stabilitas nasional.
Badui Mundur, Druze Diperkirakan Akan Taat Gencatan Senjata
Tak lama setelah pernyataan presiden, pemerintah mengerahkan pasukan tambahan ke Suwayda. Menyikapi hal tersebut, kelompok pejuang Badui mengumumkan penarikan diri dari kota tersebut.
“Setelah berkonsultasi dengan seluruh anggota klan dan suku Suwayda, kami memutuskan untuk mematuhi gencatan senjata, mengutamakan akal sehat dan pengendalian diri, serta memberikan ruang kepada lembaga-lembaga negara yang berwenang untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam memulihkan keamanan dan stabilitas,” ujar faksi-faksi Badui dalam sebuah pernyataan.
“Oleh karena itu, kami menyatakan bahwa semua pejuang kami telah ditarik dari kota Suwayda,” tambah mereka.
Reporter Mohamed Vall dari Al Jazeera, yang melaporkan langsung dari Damaskus, juga menyampaikan bahwa komunitas Druze tampaknya bersedia menerima perjanjian damai.
“Hikmat Al Hajri, seorang pemimpin spiritual terkemuka, telah meminta agar semua pejuang Badui dikawal dengan aman keluar dari Suwayda,” ujarnya.
“Pasukan keamanan dari Kementerian Dalam Negeri telah dikerahkan untuk membantu memisahkan kelompok-kelompok yang bertikai, dan mengawasi pelaksanaan gencatan senjata. Namun, masih ada laporan pertempuran yang sedang berlangsung di kota itu, dengan beberapa pemimpin Druze menyuarakan penentangan keras terhadap penghentian permusuhan,” ujarnya.
“Jadi, meskipun ada harapan, ada juga keraguan bahwa konflik ini telah berakhir,” tambah Vall.
Upaya Diplomatik Internasional Terus Berjalan
Yordania turut mengambil peran sebagai mediator. Negeri yang berbatasan langsung dengan Suriah ini menjadi tuan rumah dalam pertemuan trilateral antara pejabat dari Suriah, Amerika Serikat, dan dirinya sendiri. Fokus diskusi adalah untuk memperkuat dan menjaga gencatan senjata tetap berjalan.
Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi bersama Asaad al-Shibani dari Suriah dan Thomas Barak, utusan khusus AS untuk Suriah, menyepakati beberapa langkah konkret seperti pembebasan tahanan, pengerahan kembali pasukan keamanan nasional, serta rekonsiliasi antar komunitas.
Komitmen Suriah untuk menindak pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan juga disambut baik oleh Safadi, sebagai sinyal awal menuju pemulihan stabilitas.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio bahkan mengingatkan agar Suriah tidak memberikan toleransi terhadap siapa pun yang melakukan kekejaman.
“Mereka harus meminta pertanggungjawaban dan mengadili siapa pun yang bersalah atas kekejaman, termasuk mereka yang berada di dalam kelompok mereka sendiri,” ujarnya.
“Lebih lanjut, pertempuran antara kelompok Druze dan Badui di dalam perimeter juga harus segera dihentikan.”
Seruan Global untuk Perdamaian
Negara-negara lain di dunia pun tidak tinggal diam. Menteri Luar Negeri Inggris David Lammy menegaskan perlunya keberlangsungan gencatan senjata, sementara Prancis menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak sipil seluruh lapisan masyarakat Suriah.
Pemerintah Jepang juga menyampaikan keprihatinannya terhadap eskalasi kekerasan, seraya menyerukan:
“Sangat mendesak semua pihak terkait untuk menahan diri secara maksimal, menjaga integritas wilayah dan persatuan nasional Suriah, serta menghormati kemerdekaan dan kedaulatannya.”