Kebijakan pemblokiran sepihak terhadap rekening dormant atau rekening tidak aktif selama lebih dari tiga bulan yang dijalankan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai gelombang kritik dari kalangan pemerhati kebijakan publik. Alih-alih dianggap langkah protektif, kebijakan ini justru dipandang dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional serta menggerus hak konstitusional warga negara.
The PRAKARSA Soroti Dampak Pemblokiran Rekening
Lembaga riset dan advokasi kebijakan publik The PRAKARSA menjadi salah satu pihak yang paling vokal menentang kebijakan ini. Peneliti The PRAKARSA, Ari Wibowo, menyebut tindakan pemblokiran tersebut tidak sejalan dengan prinsip negara hukum.
“Pemblokiran tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan hak asasi finansial warga negara, serta berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan,” kata Ari dalam keterangan tertulis, Minggu (3/7/2025).
Ari menekankan bahwa status rekening dormant semata tidak dapat dijadikan alasan hukum untuk pemblokiran. “PPATK memang memiliki wewenang untuk memblokir rekening jika ada indikasi tindak pidana seperti pencucian uang, namun status rekening dormant atau tidak aktif saja tanpa adanya indikasi pidana yang jelas tidak dapat menjadi dasar hukum pemblokiran,” ujarnya.
Lebih jauh, Ari menguraikan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah aturan hukum yang berlaku. “Di antaranya UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Peraturan PPATK Nomor 18 Tahun 2017, Pasal 12 ayat (2), dan Peraturan OJK Nomor 8 Tahun 2023, Pasal 53 ayat (4) dimana intinya regulasi tersebut memberi wewenang pemblokiran rekening kepada PPATK jika memang terdapat dugaan tindak pidana,” jelasnya.
Kelompok Rentan Jadi Korban Kebijakan
Pandangan senada datang dari Ekonom The PRAKARSA, Roby Rushandie. Ia menilai kebijakan pemblokiran ini menyasar secara tidak proporsional, terutama bagi masyarakat yang jarang melakukan transaksi akibat keterbatasan fasilitas perbankan.
“Kebijakan pemblokiran dormant yang tidak berhati-hati sudah menyulitkan masyarakat, apalagi beberapa yang terdampak yakni masyarakat pedesaan yang memang jarang bertransaksi karena keterbatasan infrastruktur. Kelompok masyarakat rentan seperti lansia, pensiunan, pekerja informal dan mereka yang terkena PHK berisiko terkena pemblokiran rekening,” katanya.
Roby mendesak agar kebijakan tersebut ditinjau ulang secara menyeluruh. “Pemerintah agar mengevaluasi peraturan dan prosedur PPATK untuk memastikan tidak ada celah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan tindakan pemblokiran didasarkan pada proses hukum yang adil, termasuk putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.
Selain itu, Roby mengusulkan adanya mekanisme kategorisasi yang jelas. “Supaya dikategorikan mana rekening-rekening dormant yang memiliki risiko tinggi disalahgunakan, agar tidak salah sasaran, selain itu hendaknya ada mekanisme pemberitahuan atau notifikasi bagi rekening yang akan diblokir, serta mekanisme reaktivasi yang tidak menyulitkan,” tambahnya.
PPATK Klaim 30 Juta Rekening Sudah Dibuka
Di sisi lain, PPATK memastikan bahwa upaya pembukaan blokir rekening dormant terus dilakukan. Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M Natsir Kongah, menyebut proses ini berjalan bertahap sejak Mei 2025.
“Data terakhir sudah 30 juta rekening yang dibuka blokir,” kata Natsir.
Ia menjelaskan, total ada sekitar 120 juta rekening yang diblokir dan kini secara perlahan dibuka kembali setelah melalui proses verifikasi ketat. “Setiap hari memang terus dibuka, setelah verifikasi dilakukan dan bank melakukan kewajibannya menerapkan Prinsip Mengenal Pengguna Jasa,” jelasnya.
Pemblokiran sementara ini dilakukan berdasarkan analisis panjang PPATK terhadap praktik kejahatan keuangan. Rekening dormant, yang kerap tidak disadari pemiliknya, sering dimanfaatkan oleh sindikat kriminal untuk menampung hasil kejahatan seperti narkotika, korupsi, hingga perdagangan ilegal. Bahkan dalam beberapa kasus, dana pada rekening tersebut disalahgunakan baik oleh pihak internal bank maupun aktor eksternal yang tidak berwenang.
“Tujuan utamanya adalah mendorong bank dan pemilik rekening untuk melakukan verifikasi ulang dan memastikan rekening serta hak/kepentingan nasabah terlindungi, serta tidak disalahgunakan untuk berbagai kejahatan,” tegas Natsir.
Janji Keamanan Dana Nasabah
PPATK memastikan bahwa seluruh dana nasabah tetap aman dan utuh seratus persen meskipun transaksi sementara dihentikan. Bagi masyarakat yang merasa dirugikan atau ingin mengajukan keberatan, PPATK menyediakan mekanisme pelaporan melalui tautan resmi https://bit.ly/FormHensem. Nasabah diminta mengisi formulir secara lengkap agar proses penanganan dapat berjalan cepat dan transparan.