Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025), menyisakan suasana hangat di tengah hiruk-pikuk ibu kota. Usai meresmikan revitalisasi Stasiun Tanah Abang Baru, Prabowo tak langsung beranjak. Ia justru memilih mendekati masyarakat yang sejak pagi menunggu untuk sekadar melihat atau bersalaman dengannya.
Senyum, jabat tangan, dan sapaan menjadi pemandangan yang menghapus batas antara pemimpin dan rakyatnya. Momen itu memperlihatkan sisi humanis seorang presiden yang tak hanya hadir di atas panggung, tetapi juga turun langsung menyapa mereka yang menjadi saksi pembangunan.
Peresmian Wajah Baru Stasiun Tanah Abang
Acara peresmian digelar dengan khidmat pada siang hari. Dalam kegiatan itu, Prabowo didampingi oleh jajaran kabinet dan sejumlah pejabat negara, antara lain Menko Infrastruktur dan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Perhubungan Dudy Purwaghandi, Mensesneg Prasetyo Hadi, serta Seskab Teddy Indra Wijaya.
Turut hadir pula Kepala Badan Komunikasi Kepresidenan Angga Raka Prabowo, Gubernur Jakarta Pramono Anung, dan Direktur Utama PT KAI Bobby Rosyidin. Dalam prosesi peresmian, Prabowo menekan tombol secara simbolis dan menandatangani plakat prasasti sebagai tanda diresmikannya wajah baru stasiun yang telah mengalami revitalisasi besar-besaran tersebut.
Bagi sebagian warga Jakarta, peresmian ini bukan sekadar seremonial. Revitalisasi Stasiun Tanah Abang menjadi simbol keterhubungan — ibarat nadi baru yang mengalirkan mobilitas jutaan manusia di jantung kota.
Dekat dengan Rakyat, Disambut Antusias
Begitu acara berakhir, Prabowo turun ke teras stasiun, di mana ratusan warga telah menunggu. Suasana berubah riuh penuh antusiasme. Mereka berlomba mengangkat ponsel untuk mengabadikan momen langka itu.
Beberapa warga bahkan berhasil bersalaman langsung dengan sang kepala negara. Di sela kerumunan, Prabowo terlihat melayani permintaan foto bersama. Tak ada jarak, tak ada protokol yang kaku — hanya interaksi sederhana yang menciptakan rasa kedekatan antara pemimpin dan rakyatnya.
Di tengah suasana penuh kegembiraan itu, Prabowo juga sempat berhenti sejenak untuk berbincang dengan seorang anak kecil. Dengan nada lembut, ia menanyakan soal program makan bergizi gratis (MBG) yang sedang dijalankan pemerintah.
“Dapat makan (bergizi gratis) nggak di sekolah?” tanya Prabowo.
“Belum Pak,” jawab anak tersebut.
“Nanti dicari ya,” ujar Prabowo.
Dialog singkat itu seolah menjadi potret kecil dari perhatian besar seorang pemimpin terhadap masa depan anak bangsa. Ia ingin memastikan program prioritas pemerintah berjalan hingga ke akar rumput, tanpa terhambat birokrasi.
Sapa Ojol, Hormat untuk Pejuang Jalanan
Tak berhenti di situ, sebelum memasuki mobil kepresidenan, Prabowo menghampiri sejumlah pengemudi ojek online (ojol) yang sedang menunggu penumpang di sekitar area stasiun. Ia menyapa mereka satu per satu, menyalami, bahkan memberikan gestur hormat sebagai bentuk penghargaan.
Pemandangan itu mengundang tepuk tangan warga yang menyaksikan. Dalam gestur sederhana itu, ada pesan simbolik: Prabowo menunjukkan bahwa pekerja lapangan—seperti para ojol—adalah bagian penting dari denyut ekonomi kota. Mereka adalah wajah nyata dari kerja keras dan ketahanan masyarakat urban.
“Nanti dicari ya,” ujar Prabowo kembali sambil tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
Kehangatan yang Konsisten Sejak Manggarai
Momen kedekatan Prabowo dengan warga bukan kali pertama. Sebelum tiba di Tanah Abang, Prabowo sempat menaiki KRL dari Stasiun Manggarai menuju lokasi peresmian. Dalam perjalanan itu, ia juga menyapa penumpang, berbincang singkat, dan menanyakan keseharian mereka.
Bagi banyak orang yang menyaksikan, sikap Prabowo tersebut memberi kesan mendalam — seorang presiden yang bukan sekadar hadir untuk meresmikan proyek, tetapi juga ingin mendengar langsung denyut kehidupan rakyatnya.
Lebih dari Sekadar Seremoni
Revitalisasi Stasiun Tanah Abang kini menjadi simbol wajah baru transportasi perkotaan. Namun, lebih dari itu, momen sapaan Prabowo kepada warga dan para ojol meninggalkan pesan moral yang lebih dalam. Ia seolah ingin menunjukkan bahwa pembangunan tak hanya diukur dari beton, baja, atau fasilitas megah, tetapi juga dari seberapa hangat hubungan antara pemerintah dan rakyat yang dilayaninya.
Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, pertemuan singkat antara presiden dan rakyat di stasiun itu menjadi pengingat: pembangunan sejati adalah ketika seorang pemimpin mampu menunduk, menyapa, dan mendengar.






