Rencana militer Israel untuk memperluas pengaruhnya di Jalur Gaza kini menyasar Kota Rafah, yang berada di sisi paling selatan wilayah tersebut. Menurut laporan dari media Israel, langkah ini merupakan bagian dari proyek pembangunan zona penyangga yang akan membentang sepanjang perbatasan Gaza.
Harian Haaretz mengabarkan pada Rabu (9/4) bahwa zona ini akan melingkupi area seluas 75 kilometer persegi—luas yang setara dengan sekitar 20 persen dari keseluruhan wilayah Gaza.
“Langkah ini secara efektif akan menjadikan Gaza sebagai sebuah daerah kantong (enklaf) yang dikelilingi wilayah di bawah kendali Israel, serta memutus aksesnya dari perbatasan Mesir,” tulis Haaretz.
Wilayah yang dimaksud berada di antara Koridor Philadelphi yang memanjang di bagian selatan, dan Jalur Morag di bagian utara. Kawasan ini dulunya menjadi tempat tinggal bagi kurang lebih 200.000 penduduk Palestina, namun kini hampir tak berpenghuni.
“Namun dalam beberapa pekan terakhir, kawasan tersebut nyaris sepenuhnya kosong akibat kehancuran besar yang disebabkan oleh serangan militer Israel,” lanjut laporan itu.
Langkah terbaru ini dipandang sebagai upaya Israel untuk memperluas zona kontrol secara fisik di Gaza. Dengan menjadikan Rafah bagian dari wilayah penyangga, Israel berpotensi menambah cakupan dominasi teritorialnya.
“Dalam beberapa hal, tampaknya militer Israel ingin menerapkan strategi yang sama seperti yang mereka lakukan di Gaza utara,” tambahnya.
Sebagai bagian dari strategi di lapangan, pasukan Israel disebut telah memperluas Jalur Morag—jalur pemisah antara Rafah dan Khan Younis—dengan menghancurkan bangunan-bangunan yang berada di sepanjang koridor tersebut. Haaretz menambahkan bahwa ini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk menekan perlawanan dari kelompok Hamas.
Meskipun demikian, belum ada pernyataan resmi yang disampaikan oleh otoritas militer Israel mengenai rencana formalisasi Rafah sebagai bagian dari zona penyangga yang dimaksud.
Serangan Israel ke Gaza kembali meningkat sejak 18 Maret lalu. Aksi ofensif tersebut telah menyebabkan hampir 1.500 orang kehilangan nyawa, lebih dari 3.700 lainnya mengalami luka, dan menggagalkan kesepakatan gencatan senjata serta pertukaran tahanan yang sebelumnya dicapai pada Januari.
Pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa negaranya akan terus menggempur Gaza di tengah implementasi rencana pemindahan warga Palestina seperti yang diajukan oleh Presiden AS Donald Trump.
Sejak konflik kembali memanas pada Oktober 2023, jumlah korban jiwa di Gaza telah melebihi angka 50.800 orang—dengan perempuan dan anak-anak sebagai kelompok yang paling banyak terdampak.
Sebagai konsekuensinya, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia berat.
Sementara itu, Israel juga tengah menghadapi proses hukum di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tuduhan melakukan genosida terhadap penduduk Palestina di wilayah Gaza.