Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia mengimpor 364,3 ribu ton beras selama periode Januari hingga Oktober 2025, dengan nilai transaksi mencapai US$ 178,5 juta. Pasokan tersebut didatangkan dari tiga negara produsen besar di Asia, yakni Myanmar, Thailand, dan India. Angka ini kembali memantik perhatian publik, terutama di tengah situasi perberasan nasional yang diklaim berada dalam kondisi aman.
Merespons hal tersebut, Kementerian Pertanian menegaskan bahwa tidak ada sebutir pun beras impor kategori medium yang masuk ke pasar Indonesia. Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Pertanian, Moch Arief Cahyono, menyampaikan bahwa seluruh beras yang masuk pada tahun ini merupakan bagian dari skema beras kebutuhan khusus dan beras industri yang diarahkan melalui neraca komoditas. Dengan kata lain, hanya jenis beras yang tidak diproduksi di dalam negeri atau diperlukan sebagai bahan baku industri yang diizinkan masuk.
“Yang perlu dipahami publik tidak ada satu pun impor beras medium. Yang masuk hanya beras kebutuhan khusus, beras premium tertentu, dan beras industri. Tidak menyentuh konsumsi masyarakat umum,” tegas Arief dalam pernyataan tertulis, Senin (1/12/2025).
Arief memaparkan bahwa terdapat beberapa kategori beras impor yang diperbolehkan. Salah satunya adalah beras pecah 100% atau menir dengan kode HS 1006.40.90, yang menjadi bahan baku berbagai industri pengolahan. Selain itu, terdapat pula beras yang ditujukan untuk kelompok konsumen tertentu, seperti beras untuk penderita diabetes, serta beras khusus yang dipakai oleh restoran asing dan jaringan hotel internasional.
Tidak hanya itu, Indonesia juga mendatangkan jenis-jenis beras aromatik dan khusus seperti basmati, jasmine, dan japonica dengan batas kepecahan maksimal 5%, terdaftar dalam kode HS 1006.30.99. Ketiga varietas tersebut memang tidak dibudidayakan secara masif di Indonesia, sehingga pasokan dari luar negeri menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pasar yang sangat spesifik.
Arief menegaskan bahwa masuknya beras-beras kategori khusus ini tidak akan mengusik stabilitas harga beras medium dalam negeri. Ia menyebut bahwa arus pasokan tersebut berada di segmen berbeda yang tidak bersinggungan dengan kebutuhan masyarakat umum. “Segmen industri harus berjalan, tetapi stabilitas pangan dan perlindungan petani tetap menjadi prioritas,” ujarnya.
Lebih jauh, Arief menjelaskan bahwa secara keseluruhan kebutuhan beras nasional masih dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Mengacu pada data BPS, total produksi beras tahun ini diperkirakan mencapai 34,79 juta ton. Angka tersebut menempatkan Indonesia dalam situasi surplus untuk kategori beras medium, sehingga ketahanan pangan nasional dalam posisi aman.
“Bersyukur tahun ini kebutuhan beras medium kita aman dari tangan petani dalam negeri dan sudah surplus. Produksi kita mencukupi, sehingga tidak ada alasan untuk impor beras medium. Petani tetap menjadi prioritas utama,” lanjutnya.
Di sisi lain, BPS juga menyoroti dinamika impor beras pada bulan Oktober 2025. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartin, menyampaikan bahwa impor pada bulan tersebut mencapai 40,7 ribu ton. Sementara jika dihitung secara kumulatif dari Januari hingga Oktober 2025, jumlahnya mencapai 364,3 ribu ton dengan nilai US$ 178,5 juta. Pudji menegaskan bahwa seluruh volume yang diimpor masuk dalam kategori beras khusus dan industri, bukan beras untuk konsumsi umum.
Dengan berbagai klarifikasi tersebut, pemerintah berupaya menegaskan bahwa kebijakan impor yang dilakukan bukanlah langkah untuk menyaingi produksi petani, melainkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi domestik. Meski demikian, transparansi dan konsistensi pemerintah dalam menjaga keseimbangan pasar tetap menjadi sorotan publik—sebuah tugas berat layaknya menapaki garis tipis antara pemenuhan kebutuhan industri dan perlindungan petani lokal.






