Konflik kawasan Timur Tengah kembali memanas setelah kelompok Houthi yang berbasis di Yaman meluncurkan rudal ke wilayah udara Israel. Rudal tersebut mendarat tak jauh dari Bandara Ben Gurion, pusat utama transportasi udara Israel, pada Minggu (5/4). Insiden ini memicu reaksi keras dari pemimpin Israel maupun Iran, memperlihatkan potensi eskalasi militer lebih lanjut.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menanggapi serangan itu dengan nada tegas. Ia menyebut rudal yang ditembakkan kelompok Houthi merupakan bentuk agresi yang dipicu oleh Iran, dan berjanji akan membalasnya.
“Serangan oleh Houthi berasal dari Iran. Israel akan menanggapi serangan Houthi terhadap bandara utama kami DAN, pada waktu dan tempat yang kami pilih, terhadap para pemimpin teror Iran mereka,” kata Netanyahu melalui platform X (dulu Twitter).
Pernyataan Netanyahu seolah menyalakan kembali bara konflik yang sudah lama membara antara Tel Aviv dan Teheran. Di sisi lain, Iran tak tinggal diam. Menteri Pertahanan Iran, Aziz Nasirzadeh, memberikan peringatan keras kepada siapa pun yang berani melakukan intervensi militer terhadap negaranya.
“Jika perang ini dimulai oleh AS atau rezim Zionis (Israel), Iran akan menargetkan kepentingan, pangkalan, dan pasukan mereka, di mana pun mereka berada dan kapan pun dianggap perlu,” ujar Nasirzadeh dalam wawancara dengan televisi nasional Iran, dikutip dari Reuters.
Serangan rudal dari kelompok Houthi sendiri diklaim sebagai bentuk dukungan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza, yang tengah mengalami penderitaan akibat konflik berkepanjangan dengan Israel. Milisi Houthi yang memiliki afiliasi ideologis dan logistik dengan Teheran ini, sejak beberapa waktu lalu telah kerap meluncurkan rudal dan drone ke wilayah Israel sebagai wujud solidaritas terhadap kelompok Hamas.
Sementara itu, Amerika Serikat juga menjadi bagian dari konstelasi konflik ini. Sejak 15 Maret lalu, Washington telah melancarkan sejumlah serangan terhadap fasilitas militer Houthi di Yaman, sebagai bagian dari upaya mempertahankan kepentingan dan sekutu di kawasan.
Di tengah suhu politik dan militer yang semakin memanas, Nasirzadeh menegaskan bahwa Iran tak menghendaki konflik terbuka dengan negara tetangganya. Namun, jika terjadi agresi terhadap Iran, maka Teheran tak akan segan membalas.
“Iran tidak memiliki permusuhan terhadap negara-negara tetangga, tetapi jika terjadi serangan, pangkalan AS yang terletak di wilayah tersebut akan dianggap sebagai target oleh Teheran,” ujar Nasirzadeh.
Menambah ketegangan situasi, Iran pada hari yang sama juga mengumumkan keberadaan senjata barunya: sebuah rudal balistik berbahan bakar padat yang dinamakan ‘Qassem Bassir’, dengan jangkauan operasional mencapai 1.200 kilometer. Pengumuman ini tampaknya menjadi simbol kesiapan militer Iran menghadapi kemungkinan eskalasi.
Dalam situasi yang menyerupai bara dalam sekam ini, seluruh mata dunia kini tertuju pada langkah lanjutan dari masing-masing pihak. Apakah konflik akan merambat menjadi perang terbuka, atau masih bisa dibendung lewat diplomasi, menjadi pertanyaan yang menggantung di tengah atmosfer yang penuh ketegangan.