Sidang Kasus Kartel Pinjol, 97 Pelaku Usaha Resmi Terlapor

Sahrul

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) membuka lembaran baru dalam sejarah persidangan mereka. Untuk pertama kalinya, lembaga pengawas ini menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan dengan menghadirkan jumlah terlapor yang mencapai hampir seratus perusahaan. Persidangan ini terkait perkara Nomor 05/KPPU-I/2025 mengenai dugaan pelanggaran aturan persaingan sehat dalam layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi (fintech peer-to-peer lending).

“Berbeda dari biasanya, untuk pertama kalinya dalam sejarah KPPU, sidang kali ini melibatkan kesembilan atau seluruh anggota KPPU duduk sebagai Majelis Komisi,” tulis KPPU dalam keterangan resmi, Kamis (14/8/2025).

Sidang yang berlangsung di kantor pusat KPPU, Jakarta, ini bak panggung besar yang mempertemukan regulator dengan 97 pelaku usaha dari industri fintech. Jumlah ini bukan hanya mencatat rekor baru, tapi juga menggambarkan betapa kompleksnya dugaan praktik kartel di sektor pinjaman digital yang kini tumbuh bak jamur di musim hujan.

“Keterlibatan seluruh Anggota KPPU menyikapi besarnya jumlah Terlapor dalam perkara tersebut, yakni 97 (sembilan puluh tujuh) Terlapor, yang notabene adalah jumlah Terlapor terbanyak yang pernah disidangkan KPPU dalam satu Perkara,” sambung KPPU.

Agenda sidang perdana ini adalah pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh investigator KPPU. Para terlapor merupakan perusahaan fintech lending yang tercatat sebagai anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada periode penyelidikan antara 4 Oktober 2023 hingga 11 Maret 2025.

“Selanjutnya, sidang akan digelar kembali pada 26 Agustus 2025 dengan agenda pembacaan LDP bagi keempat terlapor yang tidak hadir, serta pemeriksaan alat bukti yang digunakan investigator dalam tahap pemeriksaan,” tutup KPPU.

Daftar terlapor mencakup berbagai nama besar di industri fintech, mulai dari PT Abadi Sejahtera Finansindo (Singa), PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran), hingga PT Uangme Fintek Indonesia (UangMe). Total 97 perusahaan disebut-sebut terlibat dalam dugaan praktik pengaturan harga atau koordinasi yang berpotensi merugikan konsumen dan menghambat persaingan sehat.

Kasus ini bukan sekadar soal angka dalam daftar panjang perusahaan, tetapi juga menjadi gambaran bagaimana industri keuangan berbasis teknologi, yang semula diharapkan memberi napas segar bagi inklusi finansial, kini dihadapkan pada tudingan praktik curang yang bisa menyesakkan pasar.

Jika terbukti, persidangan ini bisa menjadi tonggak penting yang mengubah wajah regulasi fintech di Indonesia, sekaligus peringatan keras bagi para pemain industri agar tidak bermain-main dengan hukum persaingan.

Also Read

Tags