Situasi Thailand–Kamboja Memanas, Rusia dan China Mulai Ambil Peran

Sahrul

Situasi keamanan di garis perbatasan Thailand dan Kamboja kembali memasuki fase genting. Bentrokan bersenjata terbaru berujung pada penyitaan sejumlah persenjataan berat oleh militer Thailand, membuka babak baru dalam konflik yang kian berlapis. Temuan paling mencolok adalah keberadaan rudal antitank berpemandu generasi mutakhir buatan China, yang langsung menyedot perhatian internasional dan memicu spekulasi soal keterlibatan aktor luar di balik konflik kawasan Asia Tenggara.

Penyitaan senjata berteknologi tinggi tersebut menjadi sinyal bahaya bagi Bangkok. Otoritas keamanan Thailand kini tidak hanya menghadapi konflik perbatasan, tetapi juga teka-teki tentang jalur distribusi persenjataan canggih yang dapat menembus wilayah sengketa. Penelusuran pun dilakukan untuk mengungkap dari mana senjata-senjata itu berasal serta siapa saja pihak yang mungkin berada di balik eskalasi konflik dua negara bertetangga tersebut.

Angkatan Darat Kerajaan Thailand memastikan bahwa seluruh rudal yang diamankan kini berada sepenuhnya di bawah kendali militer. Informasi itu disampaikan melalui laporan Thai Public Broadcasting Service (PBS), bersamaan dengan dimulainya penyelidikan mendalam mengenai bagaimana senjata tersebut dapat sampai ke medan konflik.

Rudal yang disita diidentifikasi sebagai GAM-102LR, sistem persenjataan antitank berpemandu presisi generasi kelima buatan China. Senjata ini dikembangkan oleh perusahaan pertahanan Poly Technologies dan diperkenalkan ke publik pada 2018. Dengan kemampuan operasi dari tripod maupun kendaraan tempur, desainnya disebut-sebut menyerupai rudal antitank FGM-148 Javelin milik Amerika Serikat.

Kasus ini dinilai strategis karena memperlihatkan semakin nyata jejak ekspor senjata China di wilayah konflik regional. Beijing sebelumnya telah memasok tank tempur VT-4 kepada Angkatan Darat Kerajaan Thailand berdasarkan kesepakatan yang diteken pada 2017. Fakta bahwa teknologi militer China kini muncul di kedua sisi konflik menambah kerumitan lanskap keamanan Asia Tenggara, seolah menjadikan kawasan ini papan catur kepentingan global.

Di tengah meningkatnya ketegangan, Thailand juga bergerak cepat untuk memutus jalur pasokan logistik yang diduga mengalir ke pasukan Kamboja. Konflik perbatasan telah memasuki pekan kedua, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya mengklaim bahwa kedua negara telah mencapai kesepakatan gencatan senjata baru. Klaim tersebut belakangan dibantah oleh Bangkok maupun Phnom Penh.

Sumber-sumber keamanan mengatakan kepada harian The Nation Thailand bahwa muncul tanda tanya besar mengenai bagaimana persenjataan mahal dan berteknologi tinggi seperti GAM-102 bisa digunakan dalam operasi militer di perbatasan Kamboja. Meski demikian, PBS melaporkan pada Selasa (16/12/2025) bahwa Angkatan Darat Thailand menegaskan belum ditemukan bukti yang menunjukkan China secara diam-diam memasok senjata kepada pasukan Kamboja.

Jika di kemudian hari terbukti bahwa Kamboja benar-benar mengoperasikan sistem GAM-102, hal tersebut akan menandai penggunaan operasional pertama senjata itu oleh militer mana pun di dunia, menurut situs analisis pertahanan Janes.

Selain rudal GAM-102, militer Thailand juga menyita berbagai persenjataan lain, termasuk granat 82 mm Type 65 buatan China dan roket antitank tanpa pemandu PF-89 produksi Norinco beserta hulu ledaknya. Media pemerintah Thailand melaporkan bahwa serangan militer yang dilakukan Bangkok telah menghancurkan stok amunisi dalam jumlah besar dan secara signifikan melemahkan kemampuan Kamboja dalam memasok pasukan garis depan.

Sebagai langkah lanjutan untuk menekan jalur logistik, Thailand pada Senin memutuskan menghentikan pengiriman bahan bakar melalui sebuah pos perbatasan dengan Laos. Keputusan ini diambil setelah muncul kekhawatiran bahwa pasokan tersebut dialihkan ke Kamboja, sebagaimana dilaporkan Reuters.

Dari sisi politik, Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul menegaskan bahwa pemerintahnya tidak memiliki dasar hukum untuk membatasi ekspor yang telah terdokumentasi dengan benar dan secara resmi ditujukan ke negara tetangga. Perselisihan Thailand dan Kamboja sendiri telah berlangsung selama puluhan tahun, terutama terkait wilayah perbatasan sepanjang sekitar 500 mil yang ditetapkan sejak era kolonial Prancis di Kamboja.

Upaya gencatan senjata yang ditandatangani pada 26 Oktober di Malaysia dengan dukungan Amerika Serikat pun hanya bertahan singkat. Kedua negara kembali menepis pernyataan terbaru Donald Trump yang menyebut adanya kesepakatan gencatan senjata.

“Tidak ada rencana maupun kesepakatan dari pemerintah Thailand untuk melakukan gencatan senjata dengan musuh kami hingga pukul 22.00 tadi malam. Thailand berdiri teguh dengan tekad kami untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan keutuhan wilayah dan rakyat kami dengan segala cara,” tulis Charnvirakul.

Sementara itu, Kementerian Pertahanan Kamboja juga menyampaikan pernyataan resmi melalui Facebook. “Kamboja menegaskan kembali komitmen kuatnya untuk mematuhi dan menjalankan ketentuan gencatan senjata, pernyataan bersama mengenai perjanjian perdamaian antara Kamboja dan Thailand, dengan semangat dan tanggung jawab setinggi-tingginya,” tulis kementerian tersebut.

Dari Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun turut menyampaikan sikap negaranya terkait konflik tersebut.
“Sebagai negara tetangga dan sahabat bagi kedua negara, China memantau secara saksama perkembangan terkini di sepanjang perbatasan Kamboja dan Thailand… Prioritas utama saat ini adalah menghentikan pertempuran dan melindungi warga sipil.”

Ketegangan semakin kompleks setelah muncul laporan mengenai dugaan kehadiran tentara bayaran asal Rusia. Kepala Kepolisian Thailand mengeluarkan instruksi khusus untuk meningkatkan pengawasan, terutama di distrik Muang.

“Semua kantor polisi di distrik Muang telah diperintahkan untuk memantau secara ketat warga negara Rusia yang berada di daerah tersebut, di tengah kekhawatiran bahwa mereka mungkin adalah tentara bayaran yang disewa untuk menyabotase situs militer dan area ekonomi,” tulis laman Bangkok Post.

“Polisi telah menerima laporan bahwa seorang warga negara Rusia telah disewa oleh Kamboja untuk menggunakan drone untuk menyerang situs-situs strategis di provinsi tersebut, termasuk Pangkalan Udara Wing 1,” tambahnya.

Meski demikian, hingga kini belum ditemukan indikasi mencurigakan. Pemerintah Rusia melalui Kedutaan Besar Rusia di Thailand juga telah membantah keras laporan tersebut. Dikutip The Nation, pihak kedutaan menyebut tudingan keterlibatan warga negara Rusia sebagai tentara bayaran dalam konflik Thailand–Kamboja tidak berdasar.

Also Read

Tags