Suara Sunyi di Pusat Perbelanjaan Akibat Beban Royalti Lagu

Sahrul

Dalam beberapa pekan terakhir, suasana di berbagai pusat perbelanjaan di Tanah Air mengalami pergeseran yang cukup terasa. Pengeras suara yang biasanya memanjakan telinga pengunjung dengan dentingan musik pop masa kini atau alunan instrumen lembut kini memilih diam, seperti panggung yang lampunya sudah padam. Bukan karena kelalaian teknisi atau kabel yang terlepas, melainkan karena satu isu yang membuat para pelaku usaha waspada—royalti musik.

Pemicunya datang dari kasus yang melibatkan pemilik waralaba Mie Gacoan di Bali. Ia diwajibkan membayar royalti sekitar Rp2 miliar akibat memutar musik di gerai miliknya. Angka fantastis ini seolah menjadi tamparan keras bagi banyak pengusaha, membuat mereka berpikir ulang: apakah memutar musik di tempat usaha benar-benar sebanding dengan risiko hukum dan beban finansial yang mungkin muncul?

Instruksi Sunyi dari HIPPINDO

Salah satu reaksi paling besar datang dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO). Ketua Umum HIPPINDO, Budiharjo Iduansjah, menegaskan bahwa pihaknya kini meminta seluruh anggota untuk menghentikan pemutaran musik di toko maupun gerai.

“Kami sekarang menginstruksikan tidak memutar musik. Sebenarnya itu instruksi kami,”
ujar Budi, usai acara soft launching Jakarta International Investment, Trade, Tourism and SME Expo (JITEX) 2025 di Balai Kota Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Budi menuturkan, para anggota sebenarnya tidak menolak membayar royalti. Bahkan, sejak tahun sebelumnya, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk membicarakan kesepakatan tarif. Namun, penawaran harga dari HIPPINDO ditolak.

“Kami mau membayar, cuma kalau harganya tidak masuk, ya tidak mungkin kami paksa bayar,”
tegasnya.

Ia juga menyoroti aturan yang mewajibkan pembayaran royalti untuk jingle yang dibuat sendiri. Menurutnya, biaya produksi, penyanyi, pencipta lagu, dan hak cipta sudah dibayar penuh. Meski demikian, pihaknya tetap diminta membayar kembali.

Efek Domino di Lapangan

Instruksi untuk menciptakan keheningan ini langsung meninggalkan jejak nyata. Di sebuah mal besar di Jakarta Pusat, suasana yang biasanya riuh oleh musik kini berganti menjadi harmoni alami dari suara langkah kaki dan percakapan pengunjung. Beberapa restoran yang sebelumnya penuh alunan musik juga ikut diam, menciptakan atmosfer yang bagi sebagian orang terasa janggal.

Namun, tidak semua pihak mengikuti gelombang senyap ini. Ada brand yang tetap bersikap berbeda. Salah satu toko perlengkapan olahraga, misalnya, masih mengalunkan lagu hip hop internasional. Gramedia pun setia dengan playlist musik santai, menciptakan semacam “oasis” di tengah gurun sunyi pusat belanja.

Bukan Sekadar Musik, tapi Soal Tarif dan Regulasi

Di balik fenomena ini, permasalahannya bukan pada keengganan membayar royalti, melainkan pada metode penentuan tarif dan keterbukaan untuk bernegosiasi. Budi menilai bahwa jika biaya yang dipatok terlalu tinggi dan tidak dibicarakan secara adil, maka wajar jika banyak pelaku usaha memilih untuk menekan tombol mute.

Selama belum ada titik temu antara pelaku usaha dan LMKN, pusat perbelanjaan tanpa musik kemungkinan akan menjadi pemandangan yang lazim. Pertanyaannya, apakah masyarakat siap membiasakan diri berbelanja di tengah kesunyian, tanpa iringan nada yang biasanya menjadi latar setiap langkah?

Also Read

Tags