Tarif Trump Naik 32%, Tekstil China-Vietnam Siap Serbu Pasar RI

Sahrul

Langkah agresif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam menerapkan tarif impor hingga 32% ke berbagai negara membawa gelombang baru dalam dunia perdagangan global. Tak hanya berdampak bagi negara yang dikenai bea masuk, namun efek riaknya mulai terasa hingga ke pasar Indonesia. Produk tekstil dari negara-negara seperti China, India, Vietnam, hingga Bangladesh terancam “menghujani” pasar domestik, mencari celah baru setelah tertutupnya pintu Amerika.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, melihat kondisi ini sebagai babak baru yang akan mengguncang peta industri tekstil dan produk tekstil (TPT) global. Ketika para produsen utama kehilangan pasar utama seperti AS, mereka akan mencari ladang baru untuk menyalurkan produk, dan Indonesia, dengan pasar konsumennya yang besar, menjadi sasaran empuk.

Dalam konferensi pers yang digelar bersama Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI), Jemmy menyampaikan kekhawatiran industri lokal yang berisiko tergilas oleh arus masuk produk asing murah.

“Kami meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan segera dalam rangka perlindungan industri dalam negeri melalui perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan produk impor,” kata Jemmy dalam keterangannya, dikutip Minggu (6/4/2025).

Menurut Jemmy, penting bagi pemerintah untuk tidak melonggarkan pengaturan teknis terkait aktivitas impor dan tetap menjaga keberpihakan pada produk-produk dalam negeri lewat skema Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Ia menegaskan bahwa kebijakan ekspor ke AS seharusnya tidak dikaitkan dengan regulasi teknis dalam negeri yang sudah ada.

“Pemerintah perlu merespon perang tarif dengan kebijakan tarif, tidak melakukan pergeseran pada isu NTM (Non Tariff Measure) atau NTB (Non Tariff Barrier) dan mempertahankan industri sektor padat karya yang sangat penting dalam hal penyerapan tenaga kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat,” tambah Jemmy.

Ia menyarankan agar ekspor ke AS tetap dijaga keberlangsungannya dengan memanfaatkan bahan baku dari Negeri Paman Sam minimal sebesar 20%. Sebagai contoh, Indonesia bisa lebih banyak menggunakan kapas dari AS yang dikombinasikan dengan serat sintetis seperti polyester dan rayon yang diproses sepenuhnya di dalam negeri, dari proses pemintalan hingga penjahitan. Strategi ini diyakini bisa memperkuat rantai industri TPT nasional serta mengurangi ketergantungan terhadap barang jadi impor.

Saat ini, secara umum industri tekstil Indonesia mengimpor kapas dari AS senilai sekitar USD 600 juta. Namun, ironisnya, Indonesia juga mengimpor benang, kain, dan pakaian jadi dari China hingga mencapai angka USD 6,5 miliar. Perbandingan yang timpang ini menjadi ilustrasi nyata betapa industri lokal kalah bersaing di rumah sendiri, dan akhirnya beroperasi jauh di bawah kapasitas optimal, dengan utilisasi mesin produksi hanya sekitar 45%.

“Karena itu kami mendorong pemerintah melakukan negosiasi reciprocal dengan AS agar kita bisa mengimpor lebih banyak kapas sebagai trade off sekaligus mendorong importasi produk-produk AS yang tidak dapat kita produksi,” terang Jemmy.

Lebih jauh, Jemmy juga menyoroti perlunya perbaikan menyeluruh dalam manajemen perdagangan internasional Indonesia, khususnya soal dokumen asal barang. Ia mengungkap adanya dugaan manipulasi dalam penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA), yang mengindikasikan praktik transhipment—yakni barang dari negara tertentu, dalam hal ini China, dikirim ke AS seolah-olah berasal dari Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir, ekspor benang tekstur filament polyester dari Indonesia ke AS melonjak tajam, namun dilakukan oleh pelaku usaha dagang, bukan pabrik tekstil lokal. Akibatnya, para produsen Indonesia terkena tuduhan dumping dan dikenai Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) oleh pemerintah AS.

“Lonjakan ekspor ini dilakukan oleh trader bukan oleh produsen. Namun imbasnya seluruh produsen Indonesia terkena BMAD oleh AS. Untuk menghindari permasalahan ini ke depan, maka kami meminta pemerintah untuk menertibkan penerbitan SKA. Bahwa SKA hanya boleh diterbitkan bagi barang-barang yang diproduksi di Indonesia, bukan praktek transshipment,” imbuh Jemmy.

Situasi ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan pelaku industri nasional bahwa strategi dagang global tidak lagi bisa dilihat secara linier. Dalam perang tarif seperti ini, bukan hanya yang bertarung yang terluka—yang berdiri di pinggir pun bisa terkena pecahan. Indonesia dituntut untuk cermat, tak hanya menjaga benteng pasar dalam negeri, tetapi juga memastikan regulasi dijalankan secara transparan dan bertanggung jawab.

Also Read

Tags

Leave a Comment