Di tengah reruntuhan dan asap perang yang tak kunjung padam, Gaza kembali menghadirkan potret kepiluan yang membekas. Bukan hanya bom yang menewaskan, tetapi juga peluru yang menghujani mereka yang hanya ingin bertahan hidup dengan sebutir roti. Salah satunya adalah Khader, pemuda 19 tahun yang meninggal dunia dalam upayanya mendapatkan bantuan pangan.
Khader adalah satu dari ribuan anak muda Gaza yang menanggung beban terlalu besar untuk usianya. Ia tewas tertembak saat hendak mencapai pusat distribusi bantuan makanan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga bantuan yang disebut-sebut didukung oleh Amerika Serikat, dan beroperasi di wilayah Gaza tengah.
Ayahnya, Mahmoud Qassem, masih mengingat betul momen terakhir berbicara dengan sang anak.
“Terakhir kali saya dan ibunya mendengar kabar dari Khader pukul 11 malam. Dia bilang berada di tempat aman, dia pergi ke pusat distribusi Netzarim, dan saya sempat berpesan agar dia berhati-hati,” kata Qassem kepada DW dari sebuah tenda pengungsian di Kota Gaza.
Namun harapan itu sirna dini hari. Saat sang ayah mencoba menghubungi kembali, telepon Khader tak lagi aktif. Kecemasan berubah menjadi duka yang membakar dada.
“Jam satu pagi saya mencoba meneleponnya lagi, tapi ponselnya tidak aktif. Saya mulai cemas. Tidak ada kabar sama sekali hingga Jumat siang jam dua. Rasanya seperti ada api membakar dada saya,” ujar pria 50 tahun itu.
Jenazah Khader baru ditemukan setelah pencarian ke berbagai rumah sakit. Berdasarkan kondisi tubuhnya, diketahui ia meninggal karena beberapa luka tembak. Ia bukan pejuang bersenjata, bukan komandan milisi, melainkan seorang remaja yang hendak membawa pulang sebungkus bantuan untuk keluarganya.
“Seorang anak 19 tahun yang bahkan belum sempat menjalani hidupnya, semuanya demi mengambil satu kotak bantuan,” lanjutnya sambil menahan tangis.
“Saya kehabisan kata-kata menggambarkan situasi di sini. Orang-orang rela mengorbankan diri demi bertahan hidup. Hanya Tuhan yang tahu apa yang kami alami. Tidak ada yang peduli, tidak Hamas, tidak Israel, tidak negara-negara Arab, tidak seorang pun.”
Warga Gaza: Bertarung untuk Bertahan Hidup
Kisah Khader hanyalah sebutir pasir dalam padang derita Gaza. Dengan blokade Israel yang telah berlangsung sejak Oktober 2023, penduduk Gaza nyaris bergantung sepenuhnya pada bantuan kemanusiaan dari luar. Namun, akses yang terbatas dan distribusi yang berbahaya membuat setiap upaya mendapat makanan menjadi pertaruhan nyawa.
Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan bahwa lebih dari 57.000 jiwa telah tewas, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu, laporan dari Mei lalu menyatakan bahwa 93 persen warga Gaza mengalami kerawanan pangan ekstrem, sebuah indikator bencana kemanusiaan yang tak terbantahkan.
Meski PBB telah kembali mengirim bantuan dan membuka tiga pusat distribusi baru yang dikelola oleh GHF, kenyataan di lapangan tetap suram. Truk bantuan kerap dijarah, baik oleh kelompok bersenjata maupun warga yang putus asa karena kelaparan.
Israel berdalih bahwa blokade perlu dilakukan untuk mencegah Hamas menyalahgunakan bantuan. Namun berbagai organisasi kemanusiaan internasional membantah tudingan tersebut, menyebut bahwa jaringan distribusi yang telah lama ada justru kini lumpuh karena serangan dan larangan akses.
Titik Distribusi Jadi Ladang Maut
Dalam beberapa pekan terakhir, lokasi-lokasi distribusi bantuan telah berubah menjadi arena kematian massal. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 500 warga tewas akibat serangan udara, tembakan langsung, atau pengeboman Israel. Ironisnya, sebagian besar dari mereka meninggal dunia saat menanti truk pembawa makanan atau berada di sekitar titik distribusi bantuan.
Data yang dikumpulkan oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB menegaskan hal ini. Sedikitnya 613 pembunuhan tercatat terjadi di titik-titik bantuan milik GHF maupun di sekitar konvoi kemanusiaan, yang dijalankan sejak akhir Mei lalu.
“Kami telah mencatat 613 pembunuhan, baik di titik-titik GHF maupun di dekat konvoi kemanusiaan — ini merupakan angka yang tercatat per 27 Juni. Sejak saat itu … telah terjadi insiden-insiden lebih lanjut,” kata Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, dalam konferensi pers di Jenewa, Swiss.
Meski belum dapat mengidentifikasi secara pasti pelaku dari setiap pembunuhan, PBB menegaskan bahwa ada indikasi kuat bahwa pasukan Israel secara langsung menyerang warga sipil yang tengah menuju lokasi bantuan.
“Jelas bahwa militer Israel telah menggempur dan menembaki warga-warga Palestina yang berusaha mencapai titik-titik distribusi (bantuan yang dioperasikan oleh GHF),” ujar Shamdasani.
Ia menambahkan, angka tersebut mewakili periode antara 27 Mei hingga 27 Juni 2025, dan kemungkinan telah bertambah karena insiden baru terus terjadi hingga awal Juli.
Harapan yang Melemah di Bawah Bayang Kematian
Di tengah kekacauan dan kekerasan yang tak kunjung surut, warga Gaza kini tak hanya berjuang melawan kelaparan, tetapi juga melawan takdir yang seolah setiap hari diatur oleh dentuman bom dan suara senapan. Bantuan yang seharusnya menjadi cahaya di tengah gelap kini malah berubah menjadi jebakan maut.
Kisah Khader menjadi simbol dari sebuah generasi yang direnggut sebelum mekar, dan penderitaan rakyat Gaza menjadi catatan kelam dunia yang seolah berdiri sebagai penonton. Sementara itu, nyawa demi nyawa terus jatuh, bahkan hanya demi sebutir nasi atau sebungkus tepung.