Peristiwa memilukan terjadi di jalur pendakian Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Seorang wisatawan asal Brasil, Juliana Marins (27), ditemukan meninggal dunia usai terjatuh ke dalam jurang yang menganga di jalur menuju puncak gunung tersebut. Tragedi ini mengundang perhatian luas, bahkan hingga ke ranah diplomatik dan pemangku kebijakan nasional.
Juliana mengalami insiden jatuh ke jurang sedalam 200 meter pada Sabtu, 21 Juni 2025. Upaya penyelamatan yang dilakukan sempat terganggu karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat dan jarak pandang yang nyaris nihil. Pada Senin (23/6), drone penyelamat sempat merekam Juliana dalam kondisi masih bernyawa. Namun, harapan itu pupus ketika tim akhirnya menemukan tubuhnya pada kedalaman sekitar 600 meter dari posisi terakhir yang diketahui.
Autopsi Ungkap Fakta Mengerikan
Hasil pemeriksaan medis yang dilakukan di RSUP Prof IGNG Ngoerah, Denpasar, menjadi kunci penjelas dalam polemik ini. Dokter forensik, Ida Bagus Putu Atit, menyampaikan bahwa Juliana hanya mampu bertahan sekitar dua puluh menit setelah tubuhnya menghantam dinding tebing.
“Perkiraan 20 menit,” kata Dokter Forensik RSUP Prof IGNG Ngoerah, Denpasar, Ida Bagus Putu Atit.
Tubuh Juliana mengalami trauma fisik yang sangat parah, dengan sejumlah tulangnya remuk akibat benturan keras yang ia alami saat terjatuh. Autopsi menunjukkan bahwa luka dalam dan pendarahan hebat menjadi penyebab kematian utama.
“Kami dapat menyimpulkan sebab kematian karena kekerasan tumpul yang menyebabkan kerusakan pada organ-organ dalam dan pendarahan,” jelasnya.
Bagian punggung, tulang belakang, dan paha korban mengalami keretakan hebat. Kondisi ini membuat para dokter menyimpulkan bahwa kemungkinan hidupnya setelah kecelakaan sangatlah kecil.
“Kami tidak menemukan tanda bahwa korban itu meninggal dalam jangka waktu lama. Jadi kita perkiraan paling lama 20 menit,” kata Atit.
Autopsi Diharapkan Redam Tuduhan
Isu keterlambatan evakuasi yang sempat bergulir di media sosial, khususnya dari warganet Brasil, menjadi perhatian anggota legislatif di Indonesia. Wakil Ketua Komisi V DPR, Syaiful Huda, memberikan pernyataan bahwa autopsi ini penting untuk menjadi rujukan objektif dalam menjawab spekulasi publik.
“Hasil autopsi Juliana Marins kita hargai, kita jadikan rujukan ilmiah terkait hasil autopsi. Saya kira termasuk menjawab berbagai spekulasi informasi yang berkembang di tengah publik, baik publik Indonesia maupun publik luar negeri,” kata Huda saat dihubungi, Jumat (27/6/2025).
Huda mengakui bahwa luka yang dialami Juliana sangat serius sejak awal kejadian. Ia berharap fakta medis yang telah dipaparkan dapat menjadi dasar untuk meredakan tudingan tidak berdasar terhadap tim penyelamat.
“Jadi bahwa Juliana memang kelihatannya dalam posisi cukup parah luka dari kecelakaan terperosok yang akhirnya hasil autopsi teridentifikasi bisa bertahan hanya 20 menit. Ini saya kira bisa clear-kan berbagai spekulasi informasi yang berkembang, dan saya berharap ini menjadi rujukan objektif untuk sudahi berbagai kontroversi mengenai isu kelambanan atau kurang profesional Basarnas,” ucap dia.
Meski begitu, Huda menegaskan bahwa peristiwa ini seharusnya menjadi titik balik bagi seluruh pihak terkait untuk melakukan pembenahan menyeluruh, baik dalam aspek teknis maupun manajerial.
“Tentu kita harus terus berbenah penyelenggaraan tugas dan fungsi semua pihak harus berbenah, termasuk di dalamnya para pemandu pendaki yang biasanya 1 pemandu pendaki mengawal 15 orang, mungkin nanti hampir pasti tidak bisa terkontrol dengan baik. Saat yang sama kita akan terus dorong termasuk di dalamnya Basarnas untuk lakukan evaluasi dari berbagai kejadian termasuk peristiwa ini,” ujar dia.
Pemerintah Evaluasi SOP dan Teknologi Pendakian
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), langsung melakukan evaluasi terhadap prosedur keselamatan pendakian di Rinjani. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyampaikan bahwa kejadian ini menjadi refleksi bahwa sistem perlindungan dan pengawasan pendaki masih memiliki celah besar.
“Pak Prabowo Subianto selalu mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh antikritik jadi dengan kejadian ini kami akan mengevaluasi segara total prosedur pengamanan SOP secara umum akan kita evaluasi,” kata Raja Juli seusai pertemuan di Kantor Basarnas, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Evaluasi tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari kebutuhan akan penambahan papan penunjuk arah hingga penggunaan perangkat pelacak seperti RFID dan ELT, agar penanganan situasi darurat bisa berlangsung lebih cepat dan akurat.
“Ada yang mengatakan sign board mesti perlu disimpan di beberapa tempat mesti ada posko-posko yang lebih dekat satu sama lain, termasuk ide ada RFID atau tadi istilahnya ELT yang dipasangkan di gelang. Sehingga secara cepat apabila ada kondisi kedaruratan bisa terantisipasi dengan lebih baik,” jelasnya.
Profesionalisme Pemandu dan Edukasi Pendaki Akan Ditingkatkan
Raja Juli juga menyoroti pentingnya standar kompetensi bagi para pemandu pendakian. Ia menilai, perlu ada mekanisme sertifikasi serta klasifikasi risiko pendakian untuk setiap gunung di Indonesia.
“Sehingga misalkan Kalau belum pernah naik gunung A yang kedaruratannya lebih kecil maka tidak boleh naik gunung B dan sebagainya,” ujarnya.
Sebagai langkah lanjutan, pihaknya bersama Basarnas sepakat menjalin kerja sama dalam aspek kedaruratan. Di sisi lain, kapasitas relawan dan petugas lapangan juga akan ditingkatkan melalui pelatihan dan simulasi penyelamatan.
“Pada level prevensi juga dengan edukasi Nanti teman-teman kami relawan-relawan yang memang memiliki potensi besar nanti kita tingkatkan kapasitasnya. Sehingga kalau ada kondisi kedaruratan bisa bekerja sama kembali menyelamatkan korban,” ujarnya.