Presiden Amerika Serikat Donald Trump akhirnya angkat bicara terkait eskalasi terbaru di Jalur Gaza. Pernyataannya muncul setelah militer Israel melancarkan serangan udara pada Minggu (19/10/2025), di tengah masa gencatan senjata yang seharusnya menjadi jeda dari pertempuran panjang dengan Hamas.
Trump menyampaikan pandangannya bahwa pelanggaran tersebut tidak serta-merta menandakan berakhirnya perjanjian damai sementara itu. Ia menilai insiden itu lebih disebabkan oleh tindakan beberapa kelompok kecil di internal Hamas.
“Kami ingin memastikan bahwa hal itu akan berjalan damai dengan Hamas,” kata Trump. “Itu akan ditangani dengan keras, tetapi benar.”
Gencatan Senjata di Ujung Tanduk
Gencatan senjata antara Israel dan Hamas dimulai sejak 10 Oktober 2025, semula diharapkan menjadi titik awal meredanya konflik bersenjata dua tahun terakhir. Namun, harapan itu seakan goyah setelah Israel melancarkan serangan udara mematikan ke Gaza yang menewaskan sedikitnya 45 orang. Ledakan-ledakan besar mengguncang wilayah selatan Gaza, menandai kerapuhan perjanjian gencatan tersebut.
Bagi masyarakat internasional, insiden ini seperti menyulut kembali bara dalam sekam. Ketegangan yang mereda kini berada di ambang kebangkitan konflik terbuka, menimbulkan kekhawatiran global akan pecahnya kembali pertempuran skala besar di kawasan itu.
Tuduhan dan Serangan Balasan
Israel mengklaim aksi militernya merupakan respons langsung terhadap serangan Hamas yang menargetkan pasukan di Rafah, wilayah perbatasan strategis yang kerap menjadi titik rawan eskalasi. “Hari ini, teroris menembakkan rudal anti-tank dan melepaskan tembakan ke infrastruktur IDF yang beroperasi… di Rafah,” kata militer Israel dalam sebuah pernyataan.
Menanggapi serangan tersebut, IDF (Israel Defense Forces) melakukan balasan menggunakan jet tempur dan artileri berat. “IDF merespons dengan serangan udara oleh jet tempur dan tembakan artileri, menargetkan wilayah Rafah.”
Sementara itu, otoritas pertahanan sipil Gaza yang berada di bawah kendali Hamas mengonfirmasi terjadinya serangan bertubi-tubi dari Israel ke sejumlah titik yang diduga menjadi basis Hamas di wilayah selatan. Empat rumah sakit di wilayah tersebut melaporkan 45 korban jiwa, sebagian besar warga sipil.
Kesaksian di Tengah Puing
Serangan ini meninggalkan jejak kehancuran di kamp pengungsian Al-Bureij, Gaza tengah. Abdullah Abu Hasanin (29), seorang warga Palestina yang menyaksikan langsung peristiwa itu, mengaku tak mampu menggambarkan kengerian yang terjadi. Ia melihat korban berserakan di jalan, dinding bangunan runtuh, dan suara tangisan menggema.
“Saya berharap perjanjian ini akan bertahan, tetapi pendudukan tidak menghormati apa pun – bukan perjanjian, bukan apa-apa,” katanya. Ia menambahkan, “Pemandangannya tak terlukiskan. Darah telah kembali lagi.”
Reaksi Internasional Mulai Bermunculan
Pelanggaran gencatan senjata ini memicu perhatian luas dari komunitas internasional. Negara-negara sekutu Barat hingga organisasi internasional menyerukan agar kedua belah pihak menahan diri dan kembali ke meja perundingan. Meski begitu, langkah Israel dan respons Trump menimbulkan spekulasi bahwa proses perdamaian akan menghadapi jalan terjal.
Sikap Trump sendiri menjadi sorotan dunia. Meski mengecam tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran, ia tetap menyebut bahwa gencatan senjata belum berakhir, menandakan pendekatannya yang berhati-hati dalam menanggapi konflik sensitif tersebut.
Perjanjian Damai dalam Bayang-Bayang Api
Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya kesepakatan damai di kawasan Gaza. Satu peluru dapat memicu gelombang pertempuran besar, menghapus kerja keras diplomasi berbulan-bulan. Gencatan senjata yang semula diharapkan menjadi jembatan perdamaian, kini tampak seperti benang tipis yang mudah putus kapan saja.
Dengan situasi yang semakin tegang, masa depan gencatan senjata antara Israel dan Hamas kini menjadi tanda tanya besar. Dunia internasional pun menunggu langkah selanjutnya, apakah akan ada upaya rekonsiliasi atau babak baru konflik kembali dimulai.