Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mencuri perhatian dunia setelah mendesak Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky untuk menyerahkan wilayah Donbas Timur kepada Rusia sebagai jalan menuju perdamaian. Langkah kontroversial ini disebut menjadi upaya terbaru Trump dalam menengahi konflik yang telah melanda kawasan itu selama lebih dari tiga tahun.
Mengutip laporan AFP, Selasa (21/10/2025), desakan tersebut diungkap oleh seorang pejabat senior Ukraina yang mengetahui langsung jalannya pertemuan kedua pemimpin di Washington, D.C. Pertemuan itu digambarkan berlangsung “menegangkan”, mencerminkan betapa peliknya diplomasi di antara kedua belah pihak.
Pejabat itu menuturkan bahwa negosiasi dengan Trump bukanlah hal yang mudah. Upaya mencari titik temu dalam perdamaian Rusia-Ukraina bahkan disebut terasa seperti “berputar-putar tanpa arah”, memperlihatkan kerumitan situasi geopolitik yang melibatkan kekuatan besar dunia.
“Ya, itu benar,” ujar pejabat Ukraina tersebut ketika dikonfirmasi apakah Trump benar-benar menekan Zelensky untuk menarik diri dari wilayah yang masih dikuasai Ukraina — salah satu tuntutan utama Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pertemuan yang Penuh Ketegangan
Zelensky dikabarkan datang ke Washington pekan lalu dengan harapan bisa mendapatkan dukungan lebih besar dari Amerika Serikat, terutama dalam bentuk rudal jarak jauh Tomahawk untuk memperkuat pertahanan negaranya. Namun, harapan itu pupus setelah Trump menolak permintaan tersebut.
Trump, yang sebelumnya telah berbicara langsung dengan Putin sehari sebelum pertemuan, justru mengarahkan pembicaraan ke arah lain. Ia mendesak Zelensky agar mempertimbangkan kesepakatan damai melalui kompromi wilayah, yang berarti menyerahkan Donbas Timur — wilayah yang masih menjadi simbol perlawanan Ukraina terhadap invasi Rusia.
Seruan Trump untuk “Membuat Kesepakatan”
Melalui unggahan di media sosial usai pertemuan tersebut, Trump menggambarkan pembicaraannya dengan Zelensky sebagai dialog yang “menarik dan ramah”, namun sarat dengan pesan tegas.
“Pembicaraan kami sangat menarik dan ramah, tetapi saya mengatakan kepadanya, sebagaimana yang juga saya sarankan dengan tegas kepada Presiden Putin, bahwa sudah waktunya untuk menghentikan pembunuhan, dan membuat KESEPAKATAN!” tulis Trump.
Pernyataan itu menjadi sinyal kuat bahwa Trump ingin menampilkan dirinya sebagai pembawa damai global, meskipun caranya dianggap banyak pihak berpotensi merugikan kedaulatan Ukraina.
Janji Kampanye dan Dinamika Politik Trump
Trump sebelumnya telah berulang kali berjanji akan mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina hanya dalam 24 jam setelah dirinya dilantik kembali sebagai Presiden AS pada Januari mendatang. Namun, realitas diplomatik tampaknya jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Meski berambisi menjadi penengah, Trump hingga kini belum berhasil mendapatkan konsesi konkret dari Putin. Posisi politiknya pun dinilai berubah-ubah tergantung dari hasil pertemuannya dengan kedua pemimpin — kadang menunjukkan empati terhadap Ukraina, namun di sisi lain tampak lunak terhadap Rusia.
Bayangan Perdamaian yang Masih Jauh
Langkah Trump mendesak penyerahan Donbas menimbulkan perdebatan luas di kalangan diplomat Barat. Sebagian menilai langkah tersebut sebagai bentuk realpolitik, yakni strategi kompromi untuk mengakhiri konflik panjang dengan harga tertentu. Namun bagi Ukraina, usulan itu seperti meminta mereka menyerahkan jantung pertahanan nasional — sebuah luka yang sulit diterima oleh publik maupun tentaranya.
Bagi Zelensky, pilihan ini bukan sekadar tentang wilayah, tetapi tentang martabat dan kedaulatan bangsa yang sudah lama berjuang mempertahankan identitasnya dari pengaruh Moskow.
Trump tampak berusaha memposisikan dirinya sebagai tokoh yang mampu memecahkan kebuntuan perang. Namun, di balik retorika “perdamaian dalam 24 jam”, banyak pengamat menilai pendekatan yang ditawarkan mantan presiden itu terlalu sederhana untuk konflik yang memiliki akar sejarah, politik, dan ekonomi yang dalam.
Dengan situasi yang masih membara di medan perang dan diplomasi global yang penuh tarik ulur, pertemuan di Washington itu ibarat angin topan dalam ruang diplomasi — menimbulkan riak besar tanpa jaminan kedamaian yang nyata.