Trump Pangkas Bea Masuk Vietnam, Apakah Indonesia Akan Tertinggal?

Sahrul

Hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Vietnam memasuki babak baru setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan pemangkasan tarif impor atas barang-barang asal Vietnam. Kebijakan ini menjadi upaya strategis Trump untuk menenangkan ketegangan perdagangan global menjelang batas waktu 9 Juli, yang menjadi tenggat penting bagi penerapan tarif besar-besaran terhadap berbagai mitra dagangnya.

Dalam pengumuman yang disampaikan pada Rabu (2/7/2025) waktu setempat, Trump mengungkap bahwa kesepakatan ini merupakan buah dari diplomasi langsungnya dengan pemimpin Vietnam, To Lam.

“Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk mengumumkan bahwa saya baru saja membuat kesepakatan dagang dengan Republik Sosialis Vietnam,” tulis Trump di platform Truth Social.

Lewat kesepakatan ini, tarif bea masuk atas produk Vietnam ke AS kini dipangkas menjadi 20%, jauh lebih rendah dibandingkan rencana sebelumnya yang mencapai 46%. Namun, produk yang hanya “menumpang transit”—yakni barang dari negara ketiga seperti Tiongkok yang dikirim ulang lewat Vietnam—akan tetap dibebani bea tinggi sebesar 40%.

Menariknya, dalam perjanjian tersebut, Vietnam juga sepakat memberikan akses tanpa hambatan bagi produk-produk asal AS, termasuk membebaskan beberapa dari pungutan bea masuk. Trump menyebut produk-produk asal AS akan diterima dengan tarif 0% oleh Vietnam, sebuah langkah timbal balik yang dianggap menguntungkan Washington.

Meski begitu, pernyataan resmi dari pemerintah Vietnam tak menyebutkan angka tarif secara spesifik, hanya menekankan bahwa kedua negara telah menyetujui kerangka kerja perdagangan bersama. Hanoi juga mengisyaratkan akan membuka peluang pasar lebih luas bagi produk-produk Amerika, termasuk kendaraan bermesin besar.

Kesepakatan ini muncul di saat krusial, hanya beberapa hari menjelang deadline kebijakan tarif Trump yang mengancam kenaikan bea masuk atas barang dari belasan negara mitra dagang utama AS. Trump berupaya menuntaskan perjanjian bilateral sebelum tanggal tersebut sebagai bagian dari manuver ekonomi dan politik globalnya.

Di tengah lanskap perdagangan yang terus bergeser sejak masa jabatan pertama Trump, Vietnam mencatat lonjakan besar dalam nilai ekspornya ke AS. Berdasarkan data dari Biro Sensus AS, nilai ekspor Vietnam melonjak hampir tiga kali lipat, dari di bawah US$50 miliar pada 2018 menjadi sekitar US$137 miliar pada 2024. Sebaliknya, ekspor AS ke Vietnam hanya tumbuh sekitar 30% di periode yang sama.

Kenaikan signifikan ini sebagian dipicu oleh strategi bisnis perusahaan-perusahaan global yang mengalihkan tahap akhir produksi mereka ke Vietnam—sebuah taktik yang dikenal sebagai transshipment, yakni proses pengiriman ulang barang dari satu negara ke negara lain sebagai “pintu belakang” untuk menghindari tarif tinggi.

“Transshipment adalah istilah yang samar dan sering dipolitisasi dalam penegakan perdagangan. Bagaimana ia didefinisikan dan diterapkan akan membentuk masa depan hubungan dagang AS-Vietnam,” ujar Dan Martin, penasihat bisnis di Dezan Shira & Associates, dikutip dari Reuters.

Di sisi lain, keberhasilan Vietnam meraih kesepakatan ini menjadi sinyal kuat dalam permainan geopolitik dan ekonomi. Negara-negara seperti Indonesia, India, hingga Jepang masih berada dalam proses negosiasi yang belum membuahkan hasil konkret. Bahkan untuk Indonesia, yang menghadapi ancaman tarif 32%, titik temu dengan Washington belum tercapai.

Lembaga kajian strategis CSIS menilai bahwa sebelumnya, ancaman tarif 46% dari AS sempat membuat Hanoi cemas. Kekhawatiran utama adalah Vietnam bisa kehilangan posisi kompetitifnya di antara negara-negara ASEAN, sekaligus memengaruhi hubungan kepercayaan dan kerja sama militer dengan AS.

“Jika Trump tetap pada tarif 46%, itu akan merugikan Vietnam secara kompetitif, khususnya di Asia Tenggara,” kata Murray Hiebert, peneliti senior Program Asia Tenggara di CSIS.
“Hal ini bisa menggerus kepercayaan Vietnam pada AS dan membuat mereka mengurangi kerja sama keamanan dengan Washington, terutama di saat China mengalihkan perhatiannya dari Vietnam ke Filipina di Laut China Selatan.”

Bagi Indonesia, keputusan ini menjadi semacam peringatan dini. Di tengah persaingan pasar global yang semakin tajam, pemerintah perlu bersiap dengan langkah diplomasi yang gesit untuk menjaga daya saing ekspor nasional—agar tak tertinggal di tengah gelombang kesepakatan dagang strategis yang terus mengalir.

Also Read

Tags

Leave a Comment