Hubungan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), tengah memasuki fase yang memanas. Setelah Presiden AS Donald Trump melempar ancaman tarif impor sebesar 30 persen terhadap produk asal Benua Biru, pihak UE pun bersiap mengambil langkah tandingan yang tak kalah keras. Jika Trump menabuh genderang tarif, maka Eropa telah merentangkan busurnya, siap meluncurkan “anak panah” sanksi ekonomi bernilai triliunan.
Mengutip laporan Reuters, Selasa (15/7/2025), Brussels tengah merancang daftar produk asal AS yang akan dikenakan tarif balasan. Bukan daftar sembarangan, melainkan barang-barang bernilai tinggi yang selama ini menjadi andalan ekspor Negeri Paman Sam ke Eropa.
Dalam daftar tersebut tercantum pesawat, mobil, mesin industri, bahan kimia, dan peralatan medis. Tak hanya itu, alat elektronik presisi, serta komoditas pertanian dan produk olahan seperti buah, sayur, anggur, bir, hingga minuman beralkohol turut menjadi sasaran. Layaknya memukul jantung perdagangan, UE menyusun daftar itu dengan pertimbangan strategis: menyentuh sektor utama yang paling bisa mengganggu perekonomian AS jika dibalas setimpal.
Langkah ini merupakan paket balasan kedua yang diajukan oleh Komisi Eropa, lembaga yang memiliki otoritas atas urusan perdagangan di antara 27 negara anggota Uni Eropa. Jika diterapkan sepenuhnya, nilai total ekspor AS yang akan terdampak mencapai 72 miliar Euro, atau setara Rp1.367 triliun.
Perang Tarif Makin Dekat, Eropa Bilang “Cukup!”
Pemicu ketegangan terbaru ini tak lain adalah ancaman dari Presiden Trump yang berencana menaikkan tarif dasar impor produk UE sebesar 30% mulai 1 Agustus. Langkah yang menurut pejabat di Eropa bukan hanya tidak masuk akal, tapi juga dapat memutuskan hubungan dagang yang selama ini berjalan secara timbal balik antara dua pasar terbesar di dunia.
Bagi Eropa, ancaman itu bukan hanya gertakan ekonomi biasa, tetapi semacam sinyal bahwa sistem perdagangan internasional yang selama ini dijunjung bersama mulai diguncang dari dalam.
Namun di tengah ancaman yang menggantung seperti awan badai di langit diplomasi, Ketua Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, tetap menunjukkan gestur diplomatis. Ia memilih menunda pembalasan terhadap tarif baja dan aluminium yang lebih dulu diterapkan AS — sebagai wujud bahwa UE masih membuka ruang kompromi.
“Kami selalu sangat jelas bahwa kami lebih menyukai solusi yang dinegosiasikan,” kata presiden komisi tersebut, yang menangani masalah perdagangan atas nama 27 negara anggota UE.
Dunia Dagang Goyah, Globalisasi di Persimpangan
Kebijakan proteksionisme yang makin agresif dari Presiden Trump sejak kembali menduduki Gedung Putih pada Januari lalu telah mengguncang peta dagang global. Ia tak pandang bulu: sekutu dekat maupun rival strategis sama-sama dijatuhi tarif tinggi. Dampaknya tak hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga menggoyahkan pasar keuangan internasional dan memunculkan kekhawatiran akan melambatnya mesin pertumbuhan ekonomi dunia.
Namun di balik kebijakan keras itu, pemerintah AS sebenarnya sedang berpacu dengan waktu dan ekspektasi. Janji-janji kampanye untuk memperbaiki neraca perdagangan dan mengamankan kesepakatan dagang dengan berbagai negara membuat Washington berada dalam posisi yang harus segera menunjukkan hasil konkret.
Hingga kini, baru dua perjanjian dagang yang berhasil diamankan AS — yakni dengan Inggris dan Vietnam — sementara untuk hubungan dengan China, AS hanya mengendurkan tarif secara terbatas dalam perjanjian sementara.
Dengan dua pihak yang kini sama-sama mengasah strategi dan menunggu langkah selanjutnya, dunia menatap dengan waswas: apakah konflik ini akan berujung pada gelombang perang dagang jilid baru, atau justru menjadi titik tolak untuk negosiasi ulang aturan main perdagangan global yang lebih adil?
Jika Eropa tetap maju dengan balasan setara Rp1.367 triliun, maka benturan kepentingan ini bukan lagi sekadar drama antar negara adidaya, melainkan badai yang bisa mengguncang rantai pasok dan kantong konsumen di seluruh penjuru dunia.