Persaingan Industri Otomotif Menggeliat, Produsen Korea Terhimpit oleh Mobil Listrik Impor

Rohmat

Kehadiran berbagai merek otomotif asal Negeri Tirai Bambu di pasar domestik kian memperketat persaingan di industri kendaraan roda empat nasional. Dengan strategi harga yang bersaing, terobosan teknologi, serta pendekatan baru dalam pemasaran, produsen asal China mulai meraih atensi konsumen, terutama di segmen kendaraan berbasis baterai yang ramah lingkungan.

Padahal, mayoritas produk yang dipasarkan masih berasal dari luar negeri. Pabrikan asal China memanfaatkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 55/2019 dan aturan BKPM No. 1/2024. Regulasi ini memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk serta keringanan pajak untuk kendaraan listrik berbasis baterai (BEV), sehingga semakin memperbesar daya saing mereka di pasar nasional.

Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku industri otomotif yang telah lebih dulu berinvestasi di Indonesia, termasuk Hyundai. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, dalam kunjungannya ke PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMID), ia menyoroti dampak persaingan dengan kendaraan listrik impor terhadap kapasitas produksi pabrikan.

“Dari 2022 sampai sekarang kelihatannya mereka mengalami jumlah yang menurun dari kapasitas produksinya sekitar 30 persen, dan ternyata memang ada masalah yang mereka hadapi yaitu di mana datangnya mobil-mobil listrik yang mereka tidak perlu investasi di Indonesia,” katanya dalam keterangan Instagram @DPR RI, Selasa (11/2/2025).

Menurut Lamhot, harga jual kendaraan listrik impor yang lebih rendah disebabkan oleh absennya beban investasi di dalam negeri. Situasi ini membuat daya saing Hyundai, sebagai investor yang telah menanamkan modal sejak awal, semakin tertekan.

Sejak 2019, Hyundai telah menggelontorkan dana besar, mencapai Rp 28 triliun, guna membangun ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Investasi tersebut mencakup pendirian fasilitas produksi mobil listrik hingga manufaktur baterai.

“Mereka yang lebih dulu, investasi dari jauh-jauh hari menjadi pionir dalam kendaraan listrik seharusnya jangan disamakan dong dengan pelaku usaha yang tidak investasi di sini. Baru datang terus impor pula,” ujar Lamhot.

“Inilah yang akan kita bicarakan dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian,” lanjutnya.

Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) turut mencerminkan dinamika yang dihadapi Hyundai. Sejak 2020, volume produksi Hyundai di Indonesia mengalami lonjakan pesat, tetapi dalam beberapa tahun terakhir mulai mengalami perlambatan.

Pada tahun 2020, Hyundai mencatat produksi sebanyak 977 unit, sebelum menurun menjadi 770 unit pada 2021. Namun, kehadiran model baru mendorong produksi melesat ke angka 82.416 unit pada 2022. Sayangnya, tren ini tidak bertahan lama karena pada 2023, jumlah produksi Hyundai turun menjadi 79.557 unit. Meski demikian, pada 2024 produksinya kembali meningkat menjadi 85.674 unit.

Sementara itu, dari sisi distribusi kendaraan ke jaringan diler atau wholesales, Hyundai mencatat penurunan signifikan. Pada 2024, distribusi turun tajam hingga 37 persen dari 35.500 unit menjadi 22.361 unit. Angka ini juga jauh lebih rendah dibandingkan capaian puncaknya pada 2022 dengan penjualan sebanyak 31.965 unit. Sebagai perbandingan, Hyundai hanya menjual 215 unit mobil pada 2020 dan mengalami peningkatan menjadi 3.005 unit sepanjang tahun 2021.

Persaingan yang semakin ketat ini memunculkan tantangan baru bagi pabrikan yang telah lebih dulu berinvestasi di Tanah Air. Dengan adanya kendaraan listrik impor yang memperoleh keuntungan dari kebijakan perpajakan, para pelaku industri otomotif yang berkomitmen membangun ekosistem di dalam negeri perlu mendapatkan perlindungan agar tetap bisa bersaing secara sehat di pasar nasional.

Also Read

Tags

Leave a Comment