Perang berkepanjangan di Jalur Gaza memasuki babak diplomasi yang kian kompleks. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyampaikan sejumlah tuntutan sebagai prasyarat untuk menghentikan agresi militer di wilayah kantong Palestina tersebut. Pernyataan ini memicu respons keras dari pihak Hamas, yang menilai syarat itu sebagai bentuk kontrol sepihak atas tanah mereka.
Mengutip laporan dari AFP pada Jumat (11/7/2025), proposal Netanyahu disampaikan dalam rangkaian perundingan tidak langsung yang digelar di Doha, ibu kota Qatar. Pertemuan ini merupakan salah satu upaya internasional yang bertujuan menghentikan konflik bersenjata yang telah berlangsung selama hampir dua tahun. Walau tidak duduk dalam satu meja, kedua pihak—Israel dan Hamas—berusaha mencari celah untuk mencapai titik temu terkait penghentian kekerasan.
Dalam pernyataan video yang direkam dari Washington, Netanyahu mengutarakan bahwa Israel tidak keberatan membuka jalan menuju gencatan senjata permanen, namun dengan syarat tegas. Hal ini disampaikan oleh Steve Witkoff, utusan Amerika Serikat untuk kawasan Timur Tengah.
“Pada awal gencatan senjata ini, kami akan memasuki negosiasi untuk mengakhiri perang secara permanen,” katanya dalam pesan video dari Washington.
Ia mengatakan “syarat fundamental” Israel adalah bahwa “Hamas meletakkan senjatanya” dan tidak lagi memiliki “kemampuan pemerintahan atau militer”.
Dengan kata lain, Israel ingin memastikan bahwa Hamas—yang saat ini masih menjadi kekuatan utama di Gaza—tidak lagi memiliki struktur kekuasaan atau perangkat tempur. Kondisi ini dinilai oleh Netanyahu sebagai dasar utama untuk mencapai situasi damai yang stabil.
Hamas Menolak Syarat “Damai Bersyarat”
Pernyataan Netanyahu segera dibalas oleh Hamas. Kelompok perlawanan yang menguasai Gaza itu menolak keras syarat-syarat yang diajukan Israel, dengan menyebutnya sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak dasar rakyat Palestina.
Ia mengatakan kepada AFP, bahwa mereka tidak akan menerima “berlanjutnya pendudukan tanah kami” atau warga Palestina digiring ke “kantong-kantong terisolasi” di wilayah padat penduduk tersebut.
Pernyataan itu disampaikan oleh Bassem Naim, salah satu tokoh senior Hamas. Ia menegaskan bahwa Hamas tidak bisa menerima situasi di mana rakyat Palestina terpinggirkan dan dibatasi geraknya di wilayah yang telah mereka huni secara turun-temurun.
Lebih jauh, Hamas menyampaikan keberatan atas niat Israel mempertahankan kendali atas wilayah strategis di selatan Gaza. Dua titik menjadi sorotan utama mereka, yakni kota Rafah—yang berbatasan langsung dengan Mesir—dan Koridor Morag, sebuah jalur yang menghubungkan Rafah dengan Khan Yunis. Kedua lokasi tersebut selama ini menjadi jalur utama mobilitas dan logistik bagi penduduk sipil.
Upaya Perdamaian yang Terus Tertunda
Hingga kini, usaha menciptakan kesepakatan damai di Gaza terus menghadapi jalan berliku. Sejak perang meletus, sudah 21 bulan negosiasi dilakukan oleh berbagai pihak, namun hasil konkret belum juga terlihat. Dialog terbaru ini bahkan membayangi pembicaraan Netanyahu dengan Presiden AS Donald Trump yang berlangsung di Washington, menandakan bahwa isu Gaza masih menjadi batu sandungan utama dalam diplomasi kawasan.
Dengan dua pihak yang sama-sama bersikeras atas syarat masing-masing, harapan akan gencatan senjata yang komprehensif masih dibayangi ketidakpastian. Perundingan pun terus berputar dalam labirin kepentingan, sementara penduduk Gaza tetap menjadi pihak yang paling menderita di tengah tarik-ulur politik dan kekuatan militer.