Setiap tahunnya, ribuan ton buah mangga asal Indonesia berlayar melintasi perairan internasional. Namun, tujuan utama ekspor ini bukanlah negara-negara raksasa seperti Amerika Serikat atau kawasan Eropa, melainkan sebuah negara mungil di Asia Tenggara: Singapura.
Negara yang luasnya tak lebih besar dari wilayah metropolitan Jakarta ini ternyata menjadi konsumen utama mangga Indonesia. Pada tahun 2024, Singapura menyerap mangga dengan nilai mencapai US$675,88 ribu, jauh melampaui Uni Emirat Arab yang mencatat angka US$500,94 ribu serta Malaysia dengan nilai US$141,52 ribu.
Menariknya, ekspor mangga Indonesia sempat mengalami kemunduran signifikan. Pada 2019, nilai ekspor mencapai US$1,74 juta, tetapi kemudian anjlok hingga titik terendah US$535 ribu di tahun 2022. Meski demikian, dalam dua tahun terakhir, industri ini kembali mengalami lonjakan yang cukup tajam, dengan nilai ekspor mencapai US$1,63 juta pada 2024. Kenaikan ini menjadi indikasi bahwa permintaan global, terutama dari Singapura, tetap tinggi.
Timbul pertanyaan, mengapa Singapura menjadi pasar utama bagi mangga Indonesia? Faktor apa yang membuat negara ini memiliki ketergantungan besar terhadap buah tropis ini? Dan apakah tren positif ini dapat bertahan atau justru menghadapi tantangan ke depan?
Singapura bukanlah negara dengan sumber daya alam melimpah untuk pertanian, sehingga lebih dari 90% kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Dalam konteks ini, Indonesia menjadi mitra strategis karena kedekatan geografisnya, yang memungkinkan distribusi mangga dalam waktu singkat, sehingga kesegaran tetap terjaga saat sampai ke tangan konsumen.
Selain efisiensi logistik, preferensi konsumen Singapura juga memainkan peran penting. Varian mangga unggulan dari Indonesia, terutama jenis arumanis, telah lama mendapat tempat di hati masyarakat Singapura. Kualitas rasa yang khas dengan tingkat kemanisan optimal menjadikannya pilihan favorit yang mampu bersaing dengan mangga asal Thailand.
Peran jaringan distribusi juga menjadi faktor krusial dalam pertumbuhan ekspor ini. Supermarket besar seperti NTUC FairPrice dan Cold Storage secara rutin mengimpor mangga Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat. Selain konsumsi dalam bentuk buah segar, tren produk olahan berbasis mangga seperti jus, smoothie, dan dessert juga turut memperluas peluang pasar bagi Indonesia.
Tak hanya Singapura, pasar ekspor mangga Indonesia juga mencakup negara-negara di Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar. Namun, meskipun ekspor menunjukkan tren pemulihan, industri mangga Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang tak bisa diabaikan.
Salah satu kendala utama adalah menjaga kualitas dan konsistensi produk. Fluktuasi mutu sering kali menjadi hambatan dalam mempertahankan loyalitas pasar. Selain itu, regulasi di negara tujuan juga semakin ketat, terutama terkait standar keamanan pangan seperti residu pestisida dan sertifikasi organik. Singapura dan Uni Emirat Arab, misalnya, memiliki persyaratan khusus yang harus dipenuhi agar produk bisa masuk ke pasar mereka tanpa hambatan.
Jika Indonesia ingin memperluas pangsa pasar dan mempertahankan momentum ekspor, maka upaya peningkatan kualitas, optimalisasi rantai pasok, serta adaptasi terhadap regulasi internasional menjadi hal yang tak bisa ditawar. Dalam enam tahun terakhir, tren ekspor mangga Indonesia memang mengalami naik turun, tetapi pola pemulihan yang terlihat dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa peluang untuk berkembang lebih besar tetap terbuka lebar.
Untuk mengurangi ketergantungan pada beberapa negara tertentu, Indonesia juga perlu mendiversifikasi pasar ekspornya. Eropa dan Amerika Serikat merupakan target potensial, tetapi untuk bisa menembusnya, standar kualitas dan strategi branding harus diperkuat.
Dengan potensi besar yang dimiliki serta strategi yang tepat, bukan mustahil bagi Indonesia untuk mengembangkan ekspor mangganya hingga sejajar dengan negara-negara produsen utama dunia, seperti Thailand dan Meksiko.