Trump Bergerak, Pasar Keuangan RI Gemetar: IHSG & Rupiah Tertekan

Sahrul

Laju pasar keuangan domestik kembali memasuki zona turbulensi. Seolah menari dalam dua irama yang tak seirama, pergerakan pasar saham dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (7/7/2025) menunjukkan arah berlawanan. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencoba bangkit dari tekanan, rupiah justru tergelincir, memperlihatkan lemahnya pertahanan mata uang Garuda di tengah gejolak global.

Salah satu faktor pemicu gejolak tersebut adalah meningkatnya ketegangan dari arah Barat, terutama dari pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan menaikkan tarif terhadap negara-negara anggota BRICS. Ancaman ini ibarat angin ribut yang menerpa stabilitas sentimen pasar, bersamaan dengan data cadangan devisa yang tidak memberikan kejutan berarti.

Pada penutupan perdagangan awal pekan ini, IHSG terpantau menguat tipis sebesar 0,52% ke level 6.900,93. Kenaikan ini mengakhiri tren penurunan indeks yang sudah berlangsung selama lima hari berturut-turut. Namun, sorotan utama datang dari ketimpangan gerak saham: dari 328 saham yang turun, hanya 266 saham yang mampu menanjak, sementara 366 lainnya stagnan.

Volume dan nilai transaksi pun mencerminkan suasana hati pelaku pasar yang masih hati-hati. Nilai perdagangan hanya menyentuh Rp 7,48 triliun—jauh dari rata-rata normal yang biasanya berada di kisaran Rp 10 triliun hingga Rp 13 triliun. Volume transaksi juga tak kalah lesu, hanya mencapai 14,33 miliar saham dalam 875.500 kali transaksi. Meski begitu, kapitalisasi pasar mengalami sedikit peningkatan, naik menjadi Rp 12.134,72 triliun seiring penguatan IHSG.

Investor asing masih cenderung menarik dana keluar, tercermin dari aksi net sell senilai Rp 593,1 miliar. Namun satu sektor berhasil menjadi mesin dorong utama IHSG hari itu, yaitu sektor utilitas yang melonjak 2,39%. Kenaikan ini tak lepas dari pengaruh saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang melesat 2,19%, menyumbang 6,65 poin ke indeks. Saham saudara kandungnya, PT Barito Pacific Tbk (BRPT), juga mencatatkan kontribusi positif sebesar 5,92 indeks poin.

Sementara itu, beberapa saham kakap justru menjadi beban bagi IHSG, seperti PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) yang menyumbang penurunan -3,16 poin, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan -1,84 poin, serta PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang ikut menekan indeks sebesar -1,70 poin.

Di kawasan Asia-Pasifik, warna merah mendominasi layar perdagangan. Indeks Nikkei di Jepang turun 0,56%, Hang Seng Hong Kong terkoreksi 0,12%, dan Bursa Malaysia (KLSE) anjlok 0,82%. Bursa Taiwan juga merosot 0,53%. Hanya tiga indeks regional yang mencatatkan penguatan tipis: STI Singapura naik 0,34%, KOSPI Korea Selatan bertambah 0,17%, dan Shanghai menguat simbolis sebesar 0,02%.

Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, menilai IHSG saat ini bergerak dalam pola sideways, yaitu fluktuasi terbatas dalam rentang sempit tanpa arah tren yang jelas. Ia mengungkapkan:

“Indeks saat ini bergerak sideways, artinya tidak menunjukkan tren naik atau turun yang jelas, tapi berfluktuasi dalam rentang sempit, yaitu antara 6.820 sampai 6.980.”

Menurut Ekky, investor asing mulai menahan diri karena emiten perbankan yang biasanya menjadi andalan investasi asing tengah menunjukkan pelambatan kinerja. Hal ini membuat investor global lebih selektif dalam mengucurkan dana, apalagi pasar Indonesia dianggap masih kecil dari sisi likuiditas.

Berpindah ke pasar valuta asing, rupiah mengakhiri penguatan dua hari beruntun dengan mencatatkan depresiasi sebesar 0,28% terhadap dolar AS, ditutup di level Rp 16.225 per dolar. Kemerosotan ini terjadi seiring tekanan eksternal dari negosiasi tarif AS yang belum menemui ujung, dan batas waktunya akan berakhir pada Rabu, 9 Juli 2025.

Fokus investor kini tertuju pada agenda besar minggu ini, yaitu pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis, 10 Juli 2025. Pasar tengah menebak-nebak apakah bank sentral AS akan menahan suku bunga atau mulai mengisyaratkan pemangkasan dalam waktu dekat.

Office of Chief Economist Bank Mandiri memberikan pandangan mengenai kondisi pasar saat ini:

“Sentimen pasar keuangan global masih dibayangi oleh ketidakpastian terkait arah kebijakan tarif AS dan tensi geopolitik memberikan tekanan terhadap aset-aset berisiko, termasuk pasar keuangan domestik.”

Di tengah ketidakpastian arah angin global, investor cenderung memilih sikap “wait and see”, menanti kejelasan dari dua arah: kebijakan Trump dan keputusan The Fed. Hal ini ikut menekan minat terhadap aset-aset dalam negeri, termasuk obligasi.

Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun tercatat stagnan di angka 6,564%. Dalam dunia investasi, stagnannya yield menunjukkan pelaku pasar masih gamang: belum cukup yakin untuk melepas maupun mengoleksi surat utang negara dalam jumlah besar.

Bank Mandiri memprediksi, setidaknya dalam waktu dekat, nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.175 hingga Rp 16.245 per dolar AS—sebuah kisaran yang mencerminkan betapa rentannya ekonomi RI terhadap manuver besar dari luar negeri.

Also Read

Tags

Leave a Comment