Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa potensi terjadinya bencana megathrust di wilayah selatan Pulau Jawa masih tetap ada.
Fenomena megathrust ini bahkan diperkirakan dapat memicu gempa dengan kekuatan mencapai magnitudo 9,1.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Nuraini Rahma Hanifa, seorang peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN.
Hanifa mengemukakan bahwa gempa berkekuatan luar biasa besar tersebut juga berpotensi memicu bencana tambahan, yakni tsunami.
Bencana tersebut yang dapat menjangkau ibu kota, Jakarta, dalam waktu yang sangat singkat.
“Potensi megathrus ini dapat memicu goncangan gempa yang besar dan tsunami yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta denga waktu tiba sekitar 2,5 jam,” kata Rahma.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh BRIN, gempa megathrust ini berpotensi menghasilkan tsunami dengan ketinggian yang sangat mengkhawatirkan.
Diperkirakan, gelombang tsunami tersebut akan mencapai ketinggian 20 meter di sepanjang pesisir selatan Jawa, 3 hingga 15 meter di wilayah Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta.
Selain itu, gempa megathrust ini juga diperkirakan dapat melepaskan energi yang semakin besar seiring berjalannya waktu.
“Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas. Tidak hanya di selatan Jawa, tetapi juga di wilayah pesisir lainnya,” tuturnya.
Melalui analisis paleotsunami, BRIN juga mengungkapkan bahwa gempa megathrust di selatan Pulau Jawa memiliki periode siklus sekitar 400 hingga 600 tahun.
Gempa megathrust terakhir yang tercatat diperkirakan terjadi pada tahun 1699. Berdasarkan penelitian terbaru, BRIN menilai bahwa saat ini energi yang terakumulasi di wilayah tersebut telah mencapai titik kritis.
“Bencana seperti tsunami Aceh mengajarkan kita bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi bencana adalah kunci untuk menyelematkan nyawa,” kata dia.
BRIN menekankan urgensi penerapan mitigasi bencana melalui dua pendekatan utama, yakni struktural dan non-struktural.
Pendekatan struktural mencakup pembangunan infrastruktur seperti tanggul penahan tsunami, pemecah ombak, serta perencanaan tata ruang di kawasan pesisir yang mempertimbangkan zona aman dengan jarak minimal 250 meter dari garis pantai.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana secara signifikan.
“Pembangunan hutan pesisir atau vegetasi alami seperti pandan laut dan mangrove juga menjadi solusi berbasis ekosistem untuk meredam energi gelombang tsunami,” jelas Rahma.